"Dia sudah sms?"
"Belum."
"Kapan terakhir kamu smsan ama dia?" tanyaku.
"Kemarin," jawabnya seraya memanyunkan bibirnya.
"Kenapa tuh mulut manyun? Kangen ya?"
Witta, pemilik bibir manyun sekaligus sahabatku itu, mengacak-acak rambutnya.
"Iya, banget. Tapi kenapa dia gak sms duluan sih?"
"Sms duluan sana kek. Gengsi ya?"
Witta mengangguk.
"Iyalah. Lagian bukannya nanti keliatannya aku ngarep banget?"
"Bukannya emang iya?"
Witta cemberut.
"Tar, kamu sahabatku apa bukan sih? Daritadi aku dipojokin mulu," keluh Witta sambil melempar pandangannya ke seluruh sudut cafe.
"Bukannya mojokin, tapi emang bener kan apa yang aku katakan semuanya? Kenapa sih gak mau sms duluan? Selain gengsi?"
"Aku takut nantinya aku semakin suka dia, semakin ngarepin dia. Iya kalo dia ngarep ama aku juga, kalo enggak? Aku bakal sakit hati. Kamu tahu aku capek sakit hati, Tar. Aku gak mau sakit hati lagi. Aku ingin lelaki yang jadi pasanganku kelak jadi yang terakhir untukku," jelas Witta serius.
"Wit, kita semua takut sakit hati. Tapi darimana kamu tahu bahwa hubunganmu akan berhasil atau tidak jika kamu gak nyoba buat jalanin hubungan itu? Pada akhirnya, sakit hati adalah resiko yang harus kita ambil."
Witta terdiam memandangku setelah mendengar perkataanku.
"Kamu marah?"
Witta menggeleng.
"Enggak. Yang kamu omongin bener kok, Tar," jawab Witta seraya tersenyum.
Kulihat dia mengambil HP-nya kemudian jarinya bermain di atas keypad HP-nya.
"Sini, aku pinjam HP-mu," pintanya.
"Untuk apa?" tanyaku seraya menyerahkan HP-ku padanya.
"Sms Yoga. Please, mau sampai kapan kalian betah gak smsan 3 hari gara-gara gak ada yang memulai?"
Tanganku buru-buru merebut kembali HP-ku dari tangan Witta, namun sepertnya aku kalah cepat. Kulihat pada sudah ada sms yang terkirim ke nomor Yoga.
Ga, lagi apa? :)
Kalau Memang Mencintai
5 tahun yang lalu