Senin, 07 Maret 2011

Terima Kasih, Hujan

Pandangan mataku lurus ke depan. Pikiranku berpacu dengan tiap tetes air hujan yang menghantam bumi, berkonsentrasi menghitung berapa tetes air hujan yang turun saat ini. Mataku perih. Aku menyerah, aku tak sanggup lagi menghitungnya. Ratusan? Jutaan? Mungkin. Oh, suatu saat aku akan menciptakan suatu alat yang dapat menghitung tiap tetes air hujan yang jatuh. Tunggu, apakah itu konyol? Gila? Mungkin. Tapi para ilmuwan terkenal pada awalnya dianggap gila bukan?


Aku memeluk tubuhku, membangun benteng dari dingin yang mulai merasuki tubuhku. Hujan kali ini sangat deras dan berangin. Aku harus merelakan sepatu hitam kesayanganku sedikit basah terkena cipratan air hujan yang menetes di dekatku. Kulihat jam tanganku. 20 menit berlalu, namun mataku masih belum menangkap sosoknya datang menjemputku. Satu per satu, kawan-kawanku pulang ke rumahnya masing-masing, tentu saja tanpa harus cemas seragam putih mereka basah karena hujan. Mobil-mobil yang berhenti di dekatku pun beraneka macam. Mau mobil keluaran tahun berapa? Semua ada. Mendadak seperti ada sebuah showroom di jalan raya ini.

Mobil pertama berhenti, aku melengos, mobil pertama pergi disusul datangnya mobil kedua, dan begitu seterusnya. Selain iri pada mereka yang bisa dengan tenang pulang tanpa harus kehujanan, aku mulai cemas karena sosok yang kutunggu tak kunjung datang. Sudah kubilang 'kan tadi pagi? Aku bisa pulang sendiri. Malah lebih enak, aku bisa bareng dengan kawanku yang memiliki mobil dan mungkin sekarang aku sudah duduk di depan TV dengan secangkir teh hangat.

Akhirnya mataku menangkap sosoknya dari kejauhan. Aku tertegun. Aku hafal dengan motor tua itu. Aku hafal dengan helm kusam berwarna putih itu. Aku hafal lekuk tubuh orang yang mengendarai motor tua itu. Tubuhnya terbungkus jas hujan biru. Sandalnya basah, celana hitamnya dinaikkan hingga di bawah lutut. Matanya berusaha berkonsentrasi dengan jalan di depannya, agak sulit mengingat hujan yang turun masih tak kunjung mereda. Sesekali diusapnya wajahnya yang basah.

Aku melambaikan tanganku ke arah sosok itu, berusaha memberi sinyal dimana keberadaanku. Motornya berbelok ke arahku dan berhenti tepat di depanku.

"Pakai jas hujan ini. Sepatunya dimasukkan kantong plastik ya, besok 'kan masih dipakai. Maaf membuat adek lama menunggu,"

Kuterima jas hujan dan kantong plastik itu. Ada yang bergetar di dadaku. Bodoh, mengapa tadi aku sempat-sempatnya mengeluh? Aku punya sosok hebat sepertinya di hidupku. Berjuang menembus derasnya hujan, hanya untuk menjemput gadis manja sepertiku.

Aku tersenyum haru. "Terimakasih, Ayah,"

Dan terima kasih hujan telah mengingatkanku bahwa aku punya sosok hebat seperti beliau di dalam hidupku. Mungkin bila kau tak hujan hari ini, aku tak akan pernah tahu seberapa besar pengorbanannya untukku. Sekali lagi, terima kasih hujan, sampai ketemu lain waktu!

Sumber gambar : klik here

Kamis, 03 Maret 2011

Terlambat Memilikimu

Aku mengagumi sebuah gaun putih yang terpasang cantik di sebuah manekin di salah satu butik yang kulewati.
Gaun putih itu begitu cantik, begitu menggodaku. Aku menginginkannya.
Namun aku tak mempunyai uang untuk membeli gaun putih itu.
Harganya terlalu mahal. Mungkin aku harus menabung terlebih dahulu dan kembali beberapa hari lagi.
Saat ku kembali, aku tak mendapati gaun itu, tergantikan mini dress berwarna merah.
Kulihat seorang wanita keluar dari butik itu, membawa sebuah tas kertas berisikan sesuatu yang berwarna putih.
Saat dia melewatiku, aku dapat melihat bahwa itu adalah gaun putih yang selama ini kuinginkan setengah mati.
Aku kecewa. Bukan karena aku tak bisa memiliki gaun itu, namun karena aku terlambat sepersekian detik untuk memilikinya.


Aku mengagumi seorang laki-laki berparas tampan yang selalu duduk di depanku saat kami menaiki bis yang sama.
Lelaki itu begitu tampan, begitu mempesona. Aku menginginkannya.
Namun aku tak mempunyai nyali untuk hanya sekedar menyapanya, atau duduk di sampingnya.
Aku akan mengumpulkan keberanianku terlebih dahulu, hanya sebentar.
Saat kami bertemu kembali, kulihat tempat duduk di sampingnya tidak lagi kosong.
Seorang wanita cantik duduk di sampingnya.
Tak hanya duduk, dia bersandar di bahumu.
Apakah dia .. ?
Aku kecewa. Bukan karena tak memilikimu, namun karena aku terlambat sepersekian detik untuk mengenalmu.

Bukan inginku untuk terlambat membeli gaun itu.
Bukan inginku untuk terlambat berkenalan denganmu.
Bisakah aku kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahanku?
Aku mohon...

Rabu, 02 Maret 2011

Halo, Fina #CurhatCintaColongan

Kemarin aku baru saja mengirim naskah cerpen #curhatcintacolongan (dapat kamu lihat di sini) dan akan dibukukan melalui nulisbuku. Di bawah ini adalah hasil naskah cerpen milikku. Selamat membaca :)


Jarum panjang jam dinding di kamarku menunjuk ke angka 4. Seperti biasa, aku segera menuju ke telepon di sebelah tempat tidurku dan kemudian menekan sederet nomor yang sudah kuhafal tanpa perlu lagi melihat ulang dan mengecek apa nomor yang kutekan benar atau tidak.
"Halo, Fin. Bagaimana kabarmu? .. Aku juga baik-baik saja. Fina, aku rasa aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan laki-laki di sekolahku. Hari ini tidak ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah, melainkan diganti dengan acara Pentas Seni dalam rangka mengisi Kegiatan Tengah Semester. Laki-laki itu menyanyikan sebuah lagu berjudul With Me dari SUM 41. Kamu tahu ‘kan itu lagu favoritku, Fin? Aku seperti tersihir saat melihatnya bernyanyi dan memainkan gitarnya. Sungguh, aku benar-benar tersihir, Fin. Aku begitu menikmati setiap kata yang dinyanyikannya dan setiap irama yang keluar dari gitarnya. Apakah aku bodoh jatuh cinta pada laki-laki yang namanya saja aku tidak tahu? .. Jadi menurutmu aku harus mencari tahu tentangnya? .. Baiklah, Fin. Besok aku akan menghubungimu lagi. Lanjutkan pekerjaanmu, Fin. Sampai jumpa besok! .. Ya, maksudku di saluran telepon ini .. Bye, Fin!"

Aku berlari secepat mungkin, menaiki tiap anak tangga di rumahku tergesa-gesa. Sebentar lagi jam tanganku akan menunjukkan pukul 4 sore. Setelah melemparkan tasku ke sembarang arah, masih lengkap dengan seragamku, aku menyambar telepon di kamar dan menekan nomor Fina. Aku sudah tidak sabar menceritakan kejadian hari ini padanya.
“Halo, Fina? Bagaimana kabarmu? .. Aku juga baik-baik saja. Fina, aku sudah tahu siapa nama laki-laki itu! Namanya Ervan Pratama. Ternyata dia salah satu seniorku, pantas aku tidak mengenali wajahnya. Dia ketua ekskul band di sekolah. Sekarang aku tahu bagaimana bisa dia mahir bermain gitar. Apa aku ikut bergabung dengannya di ekskul band? Bagaimana menurutmu? Eh, tapi aku sama sekali tidak bisa memainkan alat musik. Alat musik yang kubisa hanyalah seruling, itu pun terpaksa kupelajari karena aku mengambil kesenian musik di sekolah .. Suaraku merdu? Kamu yakin? .. Ide pintar, Fina! Aku tidak perlu mahir bermain alat musik, karena aku bisa mendaftar menjadi vokalis! .. Fina, kamu cerdas! Besok aku kabari lagi ya, Fin. Bye, Fin!"

“Fina! Coba tebak apa yang baru saja kualami tadi siang di sekolah! Aku berpapasan dengannya, Fina! Demi Tuhan, aku tak sanggup menatap matanya saat kami berpapasan. Ingin aku menyapanya, namun dia pasti hanya akan menganggapku adik kelas yang aneh dan tidak dikenal tiba-tiba menyapanya. Jadi dengan cepat kuurungkan niatku. Kamu tahu? Aku mencoba bercerita pada Hamid, salah satu teman sekelasku. Ternyata dia kenal Ervan. Mereka sering kumpul bersama di luar jam sekolah. Dan coba tebak lagi. Aku sudah mempunyai nomor HP Ervan! Aku senang sekali, Fina. Menurutmu bagaimana? Apa aku harus menelponnya? Atau hanya sekedar mengirim SMS? Aku bingung, Fina .. Iya, aku tahu kamu pasti akan menyuruhku untuk menghubunginya, tapi apa yang kubahas nanti? .. Benar juga. Dengan alasan bahwa aku tertarik menjadi vokalis, dia pasti akan membalas SMS-ku. Lagipula dia ‘kan ketuanya. Fina, kamu cerdas! .. Terima kasih, Fina sayang. Besok aku kabari lagi bagaimana perkembangan selanjutnya!”
Kututup teleponku dan mengakhiri percakapanku dengan Fina. Jari-jariku bermain di keypad HP-ku dan kemudian mengirim SMS ke Ervan. Sekarang, aku hanya tinggal menunggu balasan Ervan. Semoga dia tidak lama membalas SMS-ku.

"Fina, terima kasih atas saranmu kemarin! Berkat saranmu, aku akhirnya berhasil berteman dengan Ervan. Tadi saja di sekolah aku berani menyapan dan memperkenalkan diri padanya. Dia ternyata orang yang cukup ramah, Fina. Kamu tahu? Dia memiliki logat yang sangat unik, aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Fina, aku benar-benar jatuh cinta pada Ervan,"

Kuusap airmataku dan kemudian menekan sederet nomor yang kuhafal. Saat ini tepat pukul 4 sore.
“Fina, aku patah hati. Hubunganku dengan Ervan berjalan lancar. Kukira aku sudah cukup tahu semua hal tentangnya, namun ternyata aku salah. Sepulang sekolah, dengan mataku sendiri, aku melihatnya membonceng seorang perempuan cantik, Fin. Aku sedih .. Tidak, itu bukan temannya. Teman seperti apa yang dibonceng kemudian merangkul pinggangnya? Hatiku sakit, Fina. Perasaan ini sungguh aneh. Padahal aku baru mengenalnya, namun perasaan ini begitu kuat. Entahlah, Fin. Aku merasa bahwa dia jodoh dari Tuhan untukku. Bodoh ya? .. Iya, Fina, aku tidak akan sedih lagi. Maafkan aku harus menangis seperti ini,”

Kumatikan laptop dan menuju tempat favoritku di jam 4 sore.
“Fina, aku memilih mundur dari kehidupan Ervan. Maafkan aku baru mengabarimu sekarang. Banyak kejadian yang menimpaku beberapa minggu yang belakangan ini. Mulai dari nilai-nilai sekolahku yang merosot, hingga merenggangnya hubunganku dengan Ervan. Masih ingat perempuan yang aku ceritakan dulu padamu? Namanya Arin. Awalnya Ervan dengan senang hati memperkenalkanku pada Arin. Namun mungkin Arin bisa membaca niatku untuk berteman dengan Ervan. Dia memarahiku, Fin. Padahal awalnya aku senang dengan hubungan mereka. Aku bahagia asalkan Ervan bahagia, meski tidak bersama diriku. Dan semenjak Arin memarahiku beberapa hari yang lalu, hubunganku dengan Ervan kini merenggang. Aku memilih keluar dari ekskul band, Fin. Aku tak sanggup lagi bila harus bertemu dengannya. Melihatnya dari kejauhan saja, tubuhku dalam sekejap bisa melemas dan jantungku berdegup kencang, bagaimana jika harus berinteraksi dengannya dalam jarak yang cukup dekat? .. Tidak, Fina. Lebih baik kupendam saja perasaan ini. Biarlah dia bahagia bersama, Arin. Aku ikhlas. Jika kelak aku berjodoh dengannya, pasti Tuhan akan mempertemukan aku dengannya bukan, Fin? Rencana Tuhan itu selalu indah .. Jadi begitulah, Fin. Kisah cinta pertamaku yang tak terbalas .. Aku tidak sedih lagi, Fina. Untuk apa aku bersedih terlalu lama jika aku punya sahabat sepertimu yang senantiasa mendengarkan keluh kesahku? .. Kapan kita bertemu, Fina? Aku rindu padamu,”

Jarum panjang jam dinding di kamarku menunjuk ke angka 4. Seperti biasa, aku segera menuju ke telepon di sebelah tempat tidurku dan kemudian menekan sederet nomor yang sudah kuhafal tanpa perlu lagi melihat ulang dan mengecek apa nomor yang kutekan benar atau tidak.
“Nomor yang anda hubungi tidak terdaftar. Silahkan tutup atau ulangi dan masukkan kembali nomor yang benar,”
“Halo, Fin. Bagaimana kabarmu? ..