Minggu, 29 Januari 2012

Aqoowh Bukan Alay | Book Review



Sebuah buku skenario berjudul 'Aqoowh Bukan 4alay' dari Mas Christian Pramudia / @christpramudia.

Ini untuk pertama kalinya, saya membaca sebuah buku dengan konsep skenario seperti ini. Saya mendapat pengetahuan baru tentang bagaimana menulis sebuah skenario. Dulu, saya kira nulis skenario itu sama seperti nulis tugas drama jaman SMP dan SMA gitu, ternyata saya salah besar. Mas Uchis memberikan kosakata baru tentang dunia per-skenario-an seperti Close Up, Cut Back To, Long Shot, Off Screen dan masih ada lagi yang lain.

Kisah di dalam buku ini menarik, apalagi dengan tokoh-tokohnya yang memiliki karakter unik. Latar belakang? Tentulah Negara Alay. Jika anda tidak lulus tes ke-alay-an, anda akan cukup dipusingkan dengan tulisan-tulisan alay di buku ini. Lain dengan saya yang pernah mengalami fase ke-alay-an beberapa tahun silam, saya kalem aja baca buku ini.

Menurut saya, ending-nya sedikit kurang greget dan sedikit disayangkan karena yang ditonjolkan hanya satu tokoh di dalam buku ini. Menurut saya, tokoh-tokoh yang lain juga tak kalah seru cerita hidupnya. Tapi selebihnya, buku ini cukup menghibur saya. Buku ini termasuk bacaan yang ringan. Boleh lah dijadikan selingan kegiatan kampus atau kantor yang padat.

I give 4 from 5 stars for this book!

ps: cukup klik gambar di atas untuk memesan buku ini via nulisbuku.com dan akun twitter Mas Uchis jika ingin sharing dengannya.

Tentang #15HariNgeblogFF

Tiga hari berlalu sudah sejak berakhirnya #15HariNgeblogFF. Terimakasih buat @WangiMS & @momo_DM yang mencetuskan ide cemerlang ini. Berkat mereka berdua, blog saya tidak lagi mati suri. Ibaratnya seperti Putri Tidur yang sudah menemukan Pangerannya, terbangun dari tidur panjangnya.

Kadang emang, saya masih agak bingung mau menulis apa di blog. Mau nulis curhatanku kok kayaknya gak penting buat orang lain. Sapa elo?, mungkin yang ada di benak mereka. Mau nulis biografi, juga gak ada prestasi yang dapat dibanggakan dari saya. Ada sih, menang lomba 17-an masukin jarum ke botol. Diitung gak?

Ah, malah ngelantur. Saya super duper senang pokoknya dengan adanya #15HariNgeblogFF, dan kayaknya penulis-penulis lain juga masih nerusin FF sampe hari ini, ya? Beberapa hari ini saya (sok) sibuk jadi gak buka twitter, sedikit ketinggalan berita.
Alhamdulillah, dari 16 judul, saya sudah ikutan 15 judul. Yang satu kemana? Kayaknya ikutan kabur ama model cilik yang kemarin heboh itu. Enggak ding, ada perihal yang harus saya selesaikan sewaktu itu, jadi gak bisa ikutan 1 judul FF.

Berkat #15HariNgeblogFF juga saya jadi kenal banyak penulis baru, yang wow, mereka tuh hebat banget nulisnya. Keren! Dan suatu saat saya yakin mereka bakal bisa nerbitin buku lewat penerbit terkenal di Indonesia dan saya bakal bilang ke anak-cucu saya, "Tahu orang ini? Yang nulis buku ini? Mama kenal ama orang ini." Berlebihan lagi? Biarin lah. Hehe.

Semoga dengan adanya event seperti ini kemarin, saya jadi lebih rajin nge-blog dan mengasah kemampuan menulis saya. Nambah temen, syukur-syukur ketemu jodoh di sini. *ngakak*. Who knows kan?

Sekali lagi, terimakasih buat @WangiMS & @momo_DM, dan temen-temen lain yang udah mampir ke blog saya. Salam hangat untuk keluarga ter-Dahsyat di seluruh Indonesia. *salah fokus, ternyata ngetik sambil nonton RCTI* =))

Kamis, 26 Januari 2012

Menikahlah Denganku #15

Baca cerita sebelumnya di sini.

"Menikahlah denganku, Indira," ucap lelaki di hadapanku saat kami berdua diam-diam mencuri waktu untuk bertemu di lunch time. Dia mengeluarkan kotak kecil berhiaskan pita putih di sekelilingnya. Dibukanya, dan tampaklah cincin bertahtakan berlian putih. Entah berapa karat, namun yang pasti cukup untuk seorang pencuri kelas atas membobol rekening lelaki ini.

Sontak aktivitas makanku terhenti, dan menatap kedua bola matanya yang bulat. Kutemukan kesungguhan di dalamnya, dan ya, aku ikut tenggelam bersamanya. Momen inilah yang kutunggu-tunggu sejak hubungan ini berjalan hampir dua tahun. Sulit untuk Dillan, nama lelaki itu, untuk membuka pintu hati dan kehidupannya untukku. Dia tak sendiri, dia telah memiliki malaikat kecil bernama Ava. Aku tersenyum kecil saat nama malaikat kecil, mungil dan cantik itu melintas di pikiranku. Aku sangat menyayanginya, hingga rela melakukan aksi gila beberapa bulan yang lalu itu. Dan ya, aku juga sangat menyayangi ayahnya. Aku sayang mereka.

"Indira?"

Lamunanku buyar saat mendengar suara seksi Dillan. Serius, suaranya sangat seksi.

Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. "Tentu saja aku mau menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Dillan."

***

Segala persiapan pernikahanku dengan Dillan sudah hampir mencapai 80% in progress. Aku sangat bersemangat mendesain kartu undangan, menghabiskan waktu berdua bersama Dillan di sofa hangatku dengan menge-list tamu-tamu undangan, memilih gaun pengantin bersama sahabatku, hingga mengajak Ava memilih catering untuk resepsi pernikahan nanti.

Tak ada hari libur, pernikahan semakin dekat, dan sedikit saja waktu luang kumiliki, segera kugunakan untuk mempersiapkan apa-apa yang kurang untuk pernikahanku dengan Dillan. Seperti hari ini, aku membereskan seluruh isi rumahku, dalam rangka menyambut keluarga besar Dillan besok. Aku tak mau tampak seperti dari rumah yang berantakan di depan Dillan dan keluarganya.

Berantakan.

Tubuhku mematung, aktivitas mengelap perabot rumah tanggaku terhenti. Ya, aku memang berasal dari rumah tangga yang berantakan. Pernikahan ayah dan ibu yang gagal, kakak yang tak kunjung menikah di usianya yang semakin bertambah tua, dan aku yang dalam beberapa minggu lagi akan menyandang status sebagai istri Dillan dan mama tiri Ava. Cukup baikkah aku menjadi istrinya? Cukup baikkah aku menjadi mama tiri Ava?

Mendadak... aku takut akan pernikahan ini.

***

"Kamu melakukan itu lagi."

"Apa?" tanyaku tak mengerti.

"Melamun," jawabnya, tetap tak melepas tatapannya dariku.

"Aku hanya takut. Kamu tahu keluargaku seperti apa," ucapku, seraya menundukkan wajahku.

Dillan menggenggam tanganku. "Jangan takut. Hey, kamu tipe istri, ibu, dan menantu idaman. Kamu tak tahu di luar sana banyak orang-orang yang rela membunuhku untuk mendapatkanmu?"

Aku tersenyum mendengarnya.

"Percayalah pada dirimu, Indira. Aku percaya kamu. Ava percaya kamu," ucapnya seraya melihat Ava yang tertidur pulas di pelukannya.

"Ya, terimakasih sayang. Biar aku yang menggendong Ava ke kamarnya." Kupeluk Ava, dan kugendong kembali ke dalam kamarnya.

"Goodnight, Ava. Sweet dream," bisikku. Kucium lembut keningnya.

"Goodnight, Mommy," balasnya seraya menatapku polos, kemudian memejamkan matanya.

Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya... bahagia.

pictures source: weheartit.com

The Duet Project: Kakak-Adik | Book Review

The Duet Project: Kakak-Adik, merupakan kumpulan cerpen karya Lakuning Banyu & Septianessty Sutjipto. Buku ini cukup unik, karena memiliki dua sudut pandang yang berbeda, kakak dan adik. Well, sebagai seorang anak bungsu dari tiga bersaudara, saya sangat mengerti bagaimana perasaan adik-adik di cerita-cerita ini.
  • Bagaimana rasanya ketika kakak kita tiba-tiba saja dengan seenaknya sendiri melakukan sesuatu, tanpa persetujuan kita.
  • Bagaimana rasanya ketika hubungan yang terasa 'asing' dengan kakak sendiri.
  • Dan saat peristiwa-peristiwa yang dialami kakak secara tidak langsung terdoktrin ke cara berpikir kita.
Tiga poin di atas adalah salah satu perasaan yang saya dapat dari membaca buku ini. Hampir di semua cerita, tercetus kalimat, "Oh, iya. Aku pernah ngerasain kayak gini" dalam benak saya.
Saya suka semua cerita di dalam buku ini. "My Sister: A Stranger?" merupakan favorit saya, karena saya sendiri pernah mengalami hal seperti ini dengan kakak laki-laki saya. :)
Kekurangan yang saya tangkap hanyalah: ada sedikit typo di beberapa kata di dalamnya. Selebihnya, buku ini bagus. Cocok untuk kamu yang gak mau mikir berat-berat kalo baca buku. Penyampaiannya santai, namun pesan yang disampaikan tetap mengena di hati. Saya beri 4 dari 5 bintang untuk buku ini. Sukses untuk Mbak Nesty & Mbak Bee. Ditunggu duet project selanjutnya!
Ps: Jika ingin mengorder buku ini, cukup klik gambar di atas. Dan jika ingin berkunjung ke blog kedua penulisnya, cukup klik nama dari masing-masing penulis.

Sah! #15

Keringat dingin mulai menyelimuti sekujur tubuhku. Berkali-kali kuusap kedua telapak tangan dan wajahku dengan handuk kecil yang kubawa. Gila, apakah aku benar-benar akan melakukan hal ini? Demi apa? Demi Moore? Kugelengkan kepalaku. Bukan waktunya untuk berpikiran bodoh. Bagaimanapun juga aku harus melakukan ini.

Mataku menjelajahi lantai dasar di Mall ini, bak seekor Elang yang tengah mengamati keadaan sekitar untuk memburu mangsanya. Sayangnya, sepertinya mangsa di kalimat barusan akan diperankan oleh diriku sendiri. Ya, aku akan menjadi mangsa yang empuk oleh mata-mata milik lautan manusia di sini, dan tawa-tawa mereka yang nantinya akan membahana bak parade ulang tahun ibu kota.

Oke, ini saatnya. Tak baik menunda pekerjaan terlalu lama. Aku akan menanggung apapun resikonya. Demi dia.
Roly Poly Roly Roly Poly
nan mireo naedo nan
dashi negero daga ga seo
Roly Poly Roly Roly Poly
naman bo il kkeoya
neo ege nareul boyeo jul kkeoya
Tubuhku bergerak membentuk deretan gerakan tari, mengikuti irama lagu yang keluar dari sound di sudut-sudut Mall ini. Senyumku mengembang, melupakan segala rasa malu yang sebelumnya membelenggu jiwaku. Demi dia. Ya, hanya demi dia.

***

"Bagaimana? Suka?" tanyaku pada gadis kecil berseragamkan putih-merah bercorak kotak-kotak yang duduk di pangkuanku.

Dia mengangguk kegirangan.

Aku tengah menunjukkan hasil video rekamanku menari di tengah lantai dasar sebuah Mall beberapa hari yang lalu. Aku tampak seperti perempuan yang kerasukan arwah penyanyi Korea. Bukan karena iseng aku melakukan hal gila seperti itu, tapi aku harus memenuhi permintaan gadis kecil ini. Gadis cantik yang menarik perhatianku sejak pertama ku berjumpa dengannya. Dia suka menonton video-video girlband/boyband asal Korea. Dan dengan polosnya memintaku hal gila itu, seolah hanya memintaku untuk membelikannya permen. Please, aku rela membelikan 1000 permen untuknya daripada menari seperti itu. Tapi, ya sudahlah. Toh aku sudah memenuhi permintaannya.

"Jadi? Sah dong? Boleh kakak minta itu sekarang?" tanyaku, lagi.

Aku mencondongkan tubuhku ke depan, dan *cups* dia mencium pipiku. Setelah itu, dia turun dari pangkuanku dan kembali ke dalam kelasnya karena jam istirahat telah usai.

Aku tersenyum bahagia. Akhirnya aku bisa menaklukkan gadis kecil itu. Anak dari calon suamiku.


 pictures source: weheartit.com

Rabu, 25 Januari 2012

Sebuah 'Tepukan Pelan' Untukku

Malam ini tadi, aku ikut menemani ayah dan ibuku menjenguk salah seorang anak dari almarhum teman ayah. Anak itu yatim piatu, dan kini diasuh tante dari keluarga ibunya. Tante ini sudah menganggap anak ini seperti anaknya sendiri.

Almarhum ayahnya meninggal duluan, kemudian disusul ibunya. Keduanya meninggal karena komplikasi penyakit, yang aku sendiri kurang tahu apa. Kita sebut saja nama anak ini Alfa. Mbak Alfa ini masih kuliah semester 7 di sebuah universitas negeri di Jawa Timur. Ayah bercerita padaku, bagaimana kehidupan Mbak Alfa ini seusai kepergian ayah dan ibunya. Mbak Alfa ini anak tunggal, dan mirisnya, keluarga ayahnya seolah-olah tak peduli dengannya. Sebagai anak tunggal, otomatis segala harta gono-gini milik ayah dan ibunya, menjadi miliknya secara hukum. Dan entah, sepertinya keluarga ayahnya tak peduli karena iri atau semacamnya. Sudah jarang sanak saudara yang mengunjunginya, ada pula kerabat dari ayahnya, yang notabene memiliki pekerjaan terpandang, malah meminta kiriman uang dari Mbak Alfa ini. Uang pensiun almarhum orangtua Mbak Alfa masuk ke Mbak Alfa sendiri.

Thank God, Mbak Alfa memiliki tantenya yang baik ini. Beliau menganggap Mbak Alfa sudah seperti anaknya sendiri.

Alhamdulillah, aku masih bisa merasakan kasih sayang dari ayah dan ibuku. Kejadian ini seperti tepukan pelan terhadap pintu hatiku, yang mungkin masih kaku terhadap ayah dan ibuku. Tahu kan, perbedaan-perbedaan pendapat yang kerap terjadi di antara kami sekeluarga. Itu tidak ada harganya bila dibandingkan dengan kehidupan Mbak Alfa saat ini. Aku gak bisa bayangin gimana perasaannya.

Anyway, Mbak Alfa ini baru saja menjalani operasi. Ada sesuatu yang mengganjal di sekitar lehernya. Katanya sih kalo buat nelan susah dan sulit untuk tidur di malam hari. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Get well very soon, Mbak Alfa. Meskipun baru pertama kali bertemu, terima kasih sudah memberi saya inspirasi tentang hidup dan lebih banyak bersyukur. Semoga bisa berjumpa di lain waktu, dengan keadaan yang lebih baik tentunya. :)

Ini Bukan Judul Terakhir #14


"Ada satu lagu yang cocok untukmu," ucapmu seraya menempatkan jari-jarimu di senar gitar yang ada di pangkuanmu.
I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh
Aku tersenyum saat dia selesai meng-cover lagu milik Jason Mraz itu.

"Apakah menurutmu kedua keluarga kita akan terkejut bahwa kita berdua berpacaran? Sahabat sejak kecil, rumah bersebelahan. Menurutmu?" tanyanya.

Aku mengedikkan bahuku. "Entahlah. Tapi kita rahasiakan saja dulu, kita beri mereka surprise."

Kamu menggenggam tanganku, kemudian beralih lagi ke gitarmu, memainkan beberapa lagu yang membuatku seakan percaya, telah muncul dua sayap di punggungku. Terbang ke angkasa, terbuai karena nyanyianmu.

***

Jemariku masih membolak-balik sebuah undangan pernikahan berbalut pita merah yang baru datang beberapa saat yang lalu. Kubaca ulang siapa, kapan, dan dimana acara pernikahan itu diselenggarakan. Mataku berhenti di bagian 'siapa'. Nama itu... namamu.

"Gak kerasa ya, si Wira itu sudah mau menikah. Perasaan baru kemarin, ibu lihat kalian main bersama di ayunan depan rumah itu," ucap Ibuku, sambil menyelesaikan masakannya di dapur belakangku.

Aku diam, bibirku tak mampu mengucapkan patah kata apapun.

"Wira itu dijodohkan, Nduk. Katanya sih sama anak rekan bisnis ayahnya. Duh, kalo ngomong bisnis tuh nakutin. Semua cara dilakukan biar bisnis tetap berjalan, termasuk menjodohkan anaknya sendiri. Wira gak pernah cerita apa-apa ama kamu, Nduk?" tanya Ibuku, tak berniat menghentikan topik ini.

Aku menggeleng. "Dia nggak pernah cerita apa-apa, Bu."

"Ibu kira dia bakal cerita ke kamu,  Nduk. Mungkin memang benar-benar mendadak ya keputusan mereka," ucap Ibu.

Aku diam, tak menanggapi ucapan Ibu. Ah, mungkin lebih baik aku pergi dari dapur.

"Oh, ya. Kamu diminta bawain lagu di acara pernikahannya Wira besok. Siapin ya, Nduk. Yang mesra gitu, kan kalian biasa nyanyi bareng."

Haruskah aku datang?

***

"Ya, lagu selanjutnya akan dibawakan oleh Neva, sahabat Wira sejak kecil."

"Lagu ini kupersembahkan untuk sahabatku, Wira, dan untuk istrinya," ucapku seraya melemparkan pandanganku ke arah mereka berdua. Ke Wira lebih tepatnya. Dia tampak gagah dengan pakaiannya. Dan istrinya, tampak mempesona. Seharusnya aku yang ada di sana, bukan perempuan itu.

Aku menggeleng, menghilangkan pikiranku. Terimalah, Neva. Wira bukan untukmu. Jari-jariku bermain lincah dengan pianoku, yang biasanya kugunakan untuk mengiringi permainan gitarmu.

Gemuruh tepuk tangan membahana lagi seiring dengan selesainya lagu yang kumainkan. Belum, ini bukan judul terakhir. Masih ada yang ingin kunyanyikan.

Dengan cepat, jari-jariku mulai memainkan lagu ke-2, yang seharusnya tidak ada di list acara ini. Tega.
Aku tahu dirimu kini telah ada yang memiliki
Tapi bagaimanakah dengan diriku
Tak mungkin ku sanggup untuk kehilangan dirimu
Aku tahu bukan saatnya tuk mengharap cintamu lagi
Tapi bagaimanakah dengan hatiku
Tak mungkin ku sanggup hidup begini tanpa cinta darimu 
 

Selasa, 24 Januari 2012

Kalau Odol Lagi Jatuh Cinta #13

"Cowok itu ganteng, ya?"
Perempuan di sebelahku tampak terkejut dengan pertanyaanku, tak menyadari kehadiranku yang tiba-tiba. Kemudian dia menganggukkan kepalanya, tanda setuju.
"Tapi, sayang. Dia udah punya cewek," lanjutku.
"Oh ya?"
Aku mengangguk. Kemudian pergi meninggalkan perempuan itu.

***

"Selamat siang, Mas. Seperti biasa?" tanyaku pada lelaki yang baru saja meletakkan laptop dan beberapa buku di atas meja. Sepertinya minggu ini, dia sedang dikejar banyak deadline.
Dia mengangguk.
"Coffee latte satu. Ada tambahan lain?"
Dia menggeleng.
Aku tersenyum, kemudian berlalu.

***

Dua jam berlalu, dan dia masih duduk di meja itu, favoritnya. Di sudut ruang. Tak banyak yang mengganggu, begitu katanya ketika kutanya.
Dia tak tahu pesonanya tak bisa disembunyikan. Meskipun dia mencoba untuk invisible, tapi mata-mata perempuan-perempuan di sini masih bisa menangkapnya. Bisa kulihat dari gelagat mereka. Merapikan anak-anak rambutnya ke belakang telinga, mengerlingkan mata mereka, mengeluarkan tawa yang dibuat-buat dan menyeruput kopi mereka sedikit demi sedikit. Itu semua mereka lakukan dengan pose yang menurutku tampak seperti cacing kepanasan.
Jika sudah mulai seperti itu, aku pun juga beraksi.
"Cowok itu sudah punya pacar, mbak," kataku seraya meletakkan mushroom soup pesanannya.
"Oh, ya? Tapi dia tampak seperti tak punya pacar."
Aku menggeleng seraya tersenyum. "Dia memang tampak seperti itu, mbak. Tapi, sebenarnya dia sedang menunggu pacarnya datang."
Perempuan di hadapanku mengangguk mengerti. Dan ya, seperti itu, tidak ada lagi perempuan yang mengamatimu. Hanya aku.

***

Seperti itu aku mencintaimu, sejak beberapa bulan yang lalu saat kau menjadi pelanggan tetap di kedai kopi ini. Kau larut ke dalam screen laptopmu, tidak mempedulikan siapapun yang ada di dekatmu. Aku beruntung, karena aku masih bisa mendengar suaramu tiap kau memesan sesuatu.
Aku seperti odol yang sedang jatuh cinta pada pemiliknya, kamu, dan perempuan-perempuan lain hanyalah kotoran yang terselip di sela-sela gigimu. Aku akan membereskan mereka. Karena pesonamu hanya untukku, bukan mereka.


pictures source: weheartit.com

Senin, 23 Januari 2012

Merindukanmu Itu Seru #12

"Jangan rindukan aku," katamu.

Wajahku menengadah ke atas, menatap bingung ke dua matamu, menembus kacamata frame hitam milikmu. 

"Kenapa aku gak boleh rindu kamu?" tanyaku.

"Karena semakin sering kau merindukanku, semakin besar keinginanmu untuk memilikiku, menahanku di sini bersamamu. Aku harus pergi. Jalani hidupmu, tanpa aku. Seperti biasanya," pesanmu.

Kau sempat mengecup keningku, dan mengusap lembut rambutku, sebelum kau beranjak pergi. Lagi.

Ya, kau selalu seperti itu. Selalu memintaku untuk tak merindukanmu. Selalu memintaku untuk menahan besar cintaku padamu yang tak terbendung ini.

Dan kini kau pergi. Lagi. Untuk kebaikanku, katamu. Yang tak pernah kau tahu, aku selalu merindukanmu. Ibarat sebuah tape player yang rusak tombol berhentinya, terus memainkan melodi-melodi rindu.

***

Aku rindu. Kau masih tak juga menampakkan batang hidungmu. Baiklah, apa boleh buat. Mungkin aku yang harus memulai memercikkan api di antara kita. Di antara mereka, sebenarnya. Lucu bagaimana mereka bertarung, saling mengejar satu sama lain. Dan kemudian kau akan mengejarku. Kita bermain bersama. Lagi. Kemudian kau pergi. Lagi. Seru.

Kau berkata kepada rekanmu, setelah kau kembali padanya: Aku tak bisa menangkap perempuan itu. Dia terlalu cepat. Semoga lain kali kita bisa menangkap buronan itu.

Kau masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi mobil, mematikan sirene dan kemudian mengemudikan mobilmu jauh dariku.



Aku tersenyum puas. Kulangkahkan kakiku menjauh dari bangunan tua, tempatku melarikan diri. Hmm, aku harus melakukan kekacauan apalagi ya untuk bertemu denganmu?


pictures source: weheartit.com

Sabtu, 21 Januari 2012

Senyum Untukmu yang Lucu #10

"You have a flat face," ucap Karin, sahabatku.

"Maksudmu?" tanyaku, tak mengerti. Pertanyaannya cukup membuat aktivitasku terhenti, meninggalkan begitu saja laporan-laporan yang sengaja kubawa untuk kucicil di kedai kopi ini.

"Wajahmu datar. Mata sendumu yang kamu gunakan untuk menatap apapun, bibirmu yang hampir seperti sebuah underline di keyboard, dan pipimu yang tak pernah terangkat sumringah. Kamu itu datar," jelasnya.

Lalu aku tersenyum. "Aku tersenyum 'kan?"

Karin mengangguk. "See? Kamu jauh lebih menarik jika banyak tersenyum seperti itu. Orang-orang akan tertarik padamu, bukan malah ngelipet-lipet wajah kayak baju yang selesai disetrika. Orang tidak antusias pada orang-orang berwajah muram sepertimu."

"Aku menyimpan senyumku untuk orang-orang terdekatku. Untuk apa aku tersenyum pada orang lain? Orang yang bahkan sedang berjalan aja tetep fokus ama Blackberyy, Ipad dan sejuta gadget lainnya. Aku tidak mau bersusah payah ramah terhadap orang-orang seperti itu," jawabku.

Karin terdiam. "Seenggaknya, kalo kamu senyum, kamu selangkah lebih dekat dengan jodohmu. Bisa aja 'kan, di saat tak terduga, lelaki yang memang ditakdirkan menjadi jodohmu, melihat senyummu dan kemudian beberapa bulan kemudian dia menjadi suamimu?"

Aku menghela nafas. "Intinya, aku senyum biar dapat jodoh 'kan? Udahlah, I'm fine anyway. Being single is great. I've learned how to stand alone for anything. Gak ngerepotin banyak orang."

"Aku ingin kamu bahagia. Aku ingin ada yang nemenin kamu. Hampir semua teman kita sudah menikah."

"Dan kamu juga akan menyusul mereka. Sudahlah, jangan memasang wajah sedih seperti itu. Kayak baru kenal aku cuman sehari aja. Emang aku bakal nangis bombay gitu jadi satu-satunya perempuan yang belum menikah di antara teman-teman kita? You should prepare your wedding party. Don't worry about me, I'm totally fine. I will find him."

Aku terdiam. Ada jeda.
"He will find me." Aku tersenyum melihat Karin yang menunjukkan tanda-tanda akan menangis karena terharu.

***

Mataku berhenti di salah satu pengunjung toko buku saat itu. Lelaki itu memakai bando merah muda di kepalanya. Tangannya memegang jari-jari  mungil milik seorang gadis kecil. Dapat kulihat dari ekspresi wajahnya yang merah padam, malu yang dia rasakan sudah tak terbendung. Tiap dia akan melepas bando-mencolok-mata itu, gadis kecil itu mulai menunjukkan tanda-tanda akan menangis. Dengan berat hati, dia memasangnya lagi. Begitu seterusnya. Kontras dengan gadis kecil yang tersenyum bahagia melihat deretan buku anak-anak.

"Kak, aku mau buku itu. Ah, ini juga bagus." Gadis kecil itu tampak antusias memilih buku.

Tiba-tiba pandangan kami bertemu. Aku dan lelaki itu, dan dia tersenyum malu padaku.

Tunggu, kenapa dia tersenyum padaku? Kuraba pipiku. Andaikan Karin tahu, dia pasti akan tertawa bahagia. For the first time, I smile to a strange man who wear a pink head craft. Dan sialnya Karin benar. Lelaki itu kini menjadi suamiku.

picture source: weheartit.com

Jumat, 20 Januari 2012

Inilah Aku Tanpamu #9

Kita adalah pasangan yang sempurna. Tidak, kamu yang sempurna. Aku tak tahu apa jadinya aku tanpamu. Kamu selalu membantuku di saat ku susah. Kamu juga selalu menemaniku di saat ku senang. Kita pasangan yang cocok, kata orang-orang. Kamu ada, di saat orang lain tak selalu ada untukku. Aku tak bisa hidup tanpamu.

Tapi semenjak dua hari yang lalu kau berubah. Tak lagi sesetia dulu. Seringkali kau tak merespon apa yang sedang kukatakan padamu. Apakah aku melakukan hal yang salah padamu? Aku minta maaf. Sungguh. Andai ada yang bisa kulakukan untuk membuatmu seperti dulu lagi. Tolong katakan padaku. Aku akan mendengarkanmu, seperti dulu kau selalu mendengarkanku. Aku akan menemanimu, seperti dulu kau menemaniku. Lihatlah aku kini. Tak berdaya. Tanpamu. Maukah kau terbuka padaku, apa yang seharusnya kulakukan agar bisa memilikimu lagi?

Aku rusak. Aku perlu diperbaiki.
 
Baiklah. Aku akan membawamu ke Service Center. Blackberry, cepatlah sembuh.


pictures source: weheartit.com

Kamis, 19 Januari 2012

Hai, Aku-Masa-Depan

Hai, Aku-Masa-Depan.
Ini aku, Aku-Masa-Sekarang.
Bagaimana kehidupanmu? Apakah semuanya berjalan lancar? Terwujudkah impian-impianmu, ehm, aku, ehm, kita? Well, aku berharap semua impian kita tercapai.

Masih ingat kan bagaimana menggebu-gebunya kita mengejar cita-cita kita? Menjadi penulis? Menjadi asisten lab? Anyway, berhasilkah kamu lolos seleksi asisten lab? Aku harap iya, karena jika kamu masih ingat, kita sangat menginginkannya! Hari aku menulis surat ini, adalah satu hari sebelum interview. Aku gugup tak karuan. Karena kita sangat ahli menyembunyikan perasaan kita, orang lain mungkin melihat kita sangat santai menghadapi interview besok. Tapi sebenarnya, rasanya pengen gantung diri ya? Jadi, bagaimana interview besok? Lancar kan? Iya kan? Bismillahirrohmanirrohim. Coba rasakan degup jantungku. Sangat cepat bukan ritmenya? Kalau boleh tahu, seperti apa sih interview besok? Tak inginkah kamu memberi sedikit clue kepadaku? Aaaaah, aku bisa gila. Bismillah, semua berjalan lancar!

Buku. Sudah berapa buku yang kita hasilkan? Cepat, jika belum satu pun semenjak Under The Mistletoe, cepat bilang padaku! Akan aku selesaikan segera proyek diam-diam kita. Tenang, aku akan menyelesaikannya selama liburan ini. Kita buktikan pada dunia, bahwa seorang engineer bisa menjadi seorang writer sekaligus. Yihaaa!

Karir, sudah. Bagaimana dengan hal satu itu? Tau kan maksudku? *senyum simpul malu-malu* Okeeee, bagaimana soal asmara kita? Kau sudah punya kekasih bukan? Tampan, berkharisma, pintar, masa depan cerah, dan setia bukan? Dia mengerti karirmu sebagai penulis kan? Jika tidak, segera putus saja. Masih ingat kan kejadian dengan mantan terdahulu? Oh, yang paling penting sebenarnya sih restu Umi kan? Sudah dapat restu Umi kan? Umi setuju kan? Inget, Umi harus setuju. Kita berdua percaya dengan kekuatan restu orangtua. Kalau Umi tidak setuju, aku harap kalian belum terlalu jauh.

Aku hanya ingin bertanya tentang beberapa hal itu saja. Aku akan berusaha sekuat tenaga agar kau tak perlu bersusah payah di masa depan. Tapi jika keadaan tidak berjalan sesuai kehendak kita, jangan bersedih ya. Ingat, Tuhan selalu tahu mana yang terbaik untuk kita. Tetap berikan 100% effort mu di setiap hal yang kamu lakukan. Sisanya? Pasrahkan pada Tuhan.

Segitu saja surat dariku. Tak sabar ingin segera berada di tempat dan waktu mu saat ini.

Salam,
Aku-Masa-Kini

nb: jika kau lupa, aku menulis surat ini di kedai kopi favorit kita, sejak hari ini.

Aku Benci Kamu Hari Ini #8

“Kau cantik.”

Kau belai rambutku, merapikan anak-anak rambutku yang tak tertata rapi di sekitar telingaku. Aku suka caramu memperlakukanku seperti ini, seolah kamu adalah Eugene dan aku adalah Rapunzel. Di luar, kau terkesan dingin dan seolah tak peduli pada apapun yang terjadi di sekitarmu, bahkan tetes air pun seolah tak kau dengarkan. Setelah mengenalmu, aku tahu itu hanya cangkangmu. Karena ketika ku berhasil mengoyak cangkang itu, sesuatu yang indah muncul dari dalam dirimu. Kamu spesial, tahu? Di hidupku. Di hatiku.

“Terima kasih. Kamu juga,” jawabku, tersenyum simpul, malu. Pipiku mungkin sudah seperti pipi Miiko yang bersemu merah saat digoda Tappei.

“Aku.. cantik?” tanyanya, memamerkan senyum meledeknya.

“Bukanlah. Kamu tampan,” ulangku.

Dia tersenyum, menggenggam tanganku, menelungkupkan punggung tanganku, dan kemudian diciumnya lembut. Perlakuannya seperti ini seringkali membuat bulu kudukku berdiri. Merinding, bukan karena takut, tapi karna aku suka. Aku bahkan rela virus-virus cintanya menggerogoti tiap celah tubuhku, mengambil alih tiap hela nafasku, mengalir dalam darahku, dan menyelimuti sekujur tubuhku.

Trrrt.. trrt..

HP-mu bergetar, kau membaca sebentar sebuah pesan yang masuk.

“Aku harus pergi,” katamu. Sorot matamu mengharapkan belas kasihanku, mengharapkan pengertianku. Aku tak suka tatapanmu itu. Aku tak suka...

Kau mencium keningku, kedua pipiku, dan bibirku. Tempat terakhir itu, kau tinggalkan jejakmu sedikit lebih lama.

“Hanya sebentar. Aku tak akan lama.” Kemudian kau pergi.

Aku benci kamu hari ini, hari dimana kekasihmu pulang dari perantauan. Aku benci kamu esok hari, dimana kekasihmu masih akan berada di kota ini. Aku benci kamu. Aku benci diriku. Mungkin memang aku telah terkena virusmu, yang dapat kulakukan hanyalah bertahan. Bertahan untuk disembuhkan, atau bertahan menunggu saatnya tiba, saat jiwa dan tubuh ini rusak..


picture source: weheartit.com

Rabu, 18 Januari 2012

Sepucuk Surat (Bukan) Dariku #7

Masih ingat denganku?
Putihku?
Beningku?
Murniku?
Kemilauku?
Kau pernah mengagumiku. Kau pernah menyayangiku. Aku segalanya bagimu dulu.
Kau tak ingin orang lain tahu tentangku, kau menyembunyikanku.
Kutemanimu berlatih berucap satu kalimat penuh makna itu.


Tapi, mengapa kau berubah pikiran?
Kau sematkan aku di jari perempuanmu, sejurus kemudian kau hilang, entah kemana.
Kau bawa cinta perempuan ini.
Kau bawa pasanganku.
Setega itukah?

Salam,
Kemilau di jari manis perempuanmu.

 

picture source: weheartit.com

Hai, Masih Ingat Aku?

Tak pernah sedikit pun terlintas di benakku, kau akan menjadi salah seorang yang kukirimi surat bulan ini. Namun rasanya, takdir berkehendak berbeda. Takdir mempertemukan kita semalam, dengan suasana yang sungguh terasa ganjil bagiku. Saat mataku sekilas menangkap siluetmu, sedetik kemudian aku seperti berada di ruang waktu yang berbeda dengan tubuhku. Aku terbawa arus masa lalu. Mengenangmu. Mengenang kita. Mengenang sebuah cerita cinta, yang menguap begitu saja termakan panasnya matahari. Tak ada akhir, tak ada permulaan.

Aku lupa bagaimana awal mula perkenalan kita. Sepertinya dari friendster. Ya, friendster. Terkesan out of date sekali ya? Kita bertukar nomor. Kamu yang pertama meminta nomorku, dan aku berlonjak kegirangan. Aku menahan diriku untuk meminta nomormu, asal kau tahu. Dan ternyata set was trapped. Hubungan basa-basi di friendster pun berlanjut lebih intim. Kita terbiasa tidur dini hari, karena di atas jam 12 malam, aku terbiasa menerima panggilan telepon darimu. Kita terjaga, ngobrol ngalur-ngidul sampai tak terasa adzan Shubuh berkumandang. Setelah itu kita menutup telepon. Begitu seterusnya.

Aku tak berani mengirimimu sms di siang hari, takut mengganggu jadwal kuliahmu. Makin lama mengenal dirimu, aku tahu alasan mengapa sebenarnya kau mengajakku berkenalan. Kau seorang pebisnis! Kau ingin mengajakku berbisnis sepertimu. Tapi, apa sih yang ada di otak seorang perempuan yang masih di bangku SMA? Tentu saja aku tak berpikir sejauh itu. Bisnis apa pula itu? Aku tak mengerti. Aku kira kau akan menjauh dariku, tapi tidak. Kau tetap menghubungiku, meskipun intensitasnya tidak sering.

Aku ingat saat pertama kali bertemu denganmu. Kau mengajakku berkeliling kota, berhenti di depan sebuah konser musik di pusat kota. Bisa kubilang, kita seperti orang pacaran kau tahu. Dan aku sibuk lirik sana-sini, takut tertangkap teman sekolahku sedang berduaan bersama seorang pria. Kamu.

Singkat cerita, tak pernah ada kejelasan di antara kita berdua. Sepertinya kamu takut berkomitmen, ya? Karena tiap kali aku menyinggung tentang apa sebenarnya hubungan kita ini, kau langsung mengalihkan topik pembicaraan. Dan seiring berjalannya waktu, kisah di antara kita berhenti, begitu saja.

Sebenarnya, kau anggap aku ini apa? Perhatian-perhatian yang kau berikan, cecandaan di pagi buta, harapan-harapan di masa depan. Tak berhargakah bagimu?

Dan, ya. Semalam kita berjumpa lagi. Aku tak tahu setajam apa pandanganku sampai dapat langsung mengenalimu begitu kau melesat di samping mejaku. Sekilas kutangkap kacamata dan karakter wajahmu, yang sayangnya, sepertinya sangat kuhafal. Kejutan tak berhenti di situ. Ternyata kau tak sendiri di kedai kopi semalam. Kau bersama seorang perempuan. Entah siapa, aku tak peduli.

Aku tahu kau melihatku saat kau memasang helm di kepalamu. Mata kita bertemu. Sedetik, dan segera saja kupalingkan pandanganku. Kau lihat aku? Masih ingat aku? Kau menyesal meninggalkanku bukan? Aku telah berubah banyak sejak kau meninggalkanku. Lihatkah kau penutup rambutku? Kau lihat behelku yang makin membuat senyumku tampak manis?

Kau tak lebih dari seorang pengecut yang hanya mencari kebahagiaan dari perempuan polos sepertiku, dulu. Aku tak sabar untuk bertemu lagi denganmu, entah takdir akan berkata seperti apa. Aku ingin, kau berkata dalam hati. Damn! Aku bodoh telah meninggalkan perempuan seperti dia!
 
Salam,
Perempuan yang pernah menemani malam-malammu.
 
pictures source: weheartit.com

Selasa, 17 Januari 2012

Ada Dia di Matamu #6

Jemari kita bertautan, kau menuntunku berjalan, menuju tempat yang masih enggan kau katakan padaku. Jemarimu terasa kuat menggenggam jemariku, seakan takut aku akan kehilangan jejakmu.

"Kita sudah sampai."

Aku mengedarkan pandanganku. Kita berada di sebuah tempat, yang menurutku tidak pernah dijamah orang. Rumput ilalang mengelilingi tempat ini, seolah menjadi benteng perlindungan tempat ini, tempat rahasia. Sepertinya.

"Tempat apa ini?" tanyaku, penasaran. Kau melepaskan tautan jemarimu dariku, dan berjalan berkeliling ke area ini.

"Tempat favoritku." Pandanganmu menerawang jauh, dan mendadak seperti membawamu ke dimensi lain, meninggalkanku.

Aku terdiam. Perlahan, aku berjalan mendekatimu. Kau masih diam. Matamu masih menelanjangi panorama di tempat kita berdiri. Seperti inikah tempat favoritmu? Mengapa ini menjadi tempat favoritmu? Apa yang spesial di tempat ini?

"Dulu, aku dan mantanku pernah datang ke tempat ini. Dan sejak saat itu, aku sangat menyukai tempat ini. Tapi, entahlah. Keadaan saat ini begitu berbeda dibanding saat itu," lanjutmu.

Oh, karena diakah tempat ini menjadi tempat favoritmu? Bisa kulihat dia di matamu. Pantas saja kau seakan sibuk mencari-cari sesuatu tadi, mencari-cari sisa kenangan dan bayangmu bersama dia di sini.

"Baiklah, ayo pulang." 

Dalam diam aku mengikutimu, kontras dengan hatiku yang kalut. Entah kenapa, mulutku tak bergerak sedikitpun untuk memprotesmu dan hanya mengikuti permainanmu. Hanya saja.. tak kusangka dia, yang dulu meninggalkanmu, masih berharga di hidupmu.

***

Lagi. Kau mengajakku ke tempat ini lagi. Berkali-kali dalam sebulan ini. Aku tak tahan.

"Untuk apa sebenarnya kau mengajakku ke tempat ini? Ingin berbagi denganku tentang kenanganmu bersamanya? Tidak, terimakasih," ucapku sarkastik, dan masih mengikutimu dari belakang.

Langkahmu terhenti. "Maksudmu apa?"

"Untuk apa kau mengajakku ke tempat yang pernah menjadi kenanganmu dengan dia?"
Kamu terdiam menatapku, dan kemudian tertawa lirih. Dengan lembut kamu membelai rambutku. "Selama ini kamu salah paham, sayang. Mari, ikut aku. Akan kutunjukkan sesuatu padamu."

Aku masih mengikutimu, tak mengerti.
"Inilah yang selama ini ingin kutunjukkan padamu."

Aku terpana. Begitu banyak bintang yang berpijar di langit. Indah.
"Selama beberapa minggu ini, mendung selalu merebut bintang dari kita. Aku ingin menunjukkan bintang-bintang ini padamu dan seperti inilah. Indah bukan?"

Aku mengangguk. "Lalu, dia?"
Kamu menoleh dan tersenyum. "Aku memang pernah mengajaknya ke sini, namun dia tak pernah lagi mau ke sini. Seram dan kotor katanya. Dan, hei, lihatlah kamu. Bertahan mengikutiku menerjang rumput-rumput ilalang tadi, tak takut baju dan sepatumu kotor oleh tanah."

Aku tersenyum, lega. Jadi karena itu...
"Kamu tahu, mengapa aku jatuh hati padamu? Karena kamu bersinar, seperti mereka." Telunjuk kananmu menunjuk ke arah bintang-bintang itu, dan jari-jari kirimu menggenggam tanganku. Pipiku bersemu merah.

pictures source: weheartit.com

Senin, 16 Januari 2012

Hai, Ksatria...ku?

Hai, Ksatria.

Well, sebenarnya dulu aku memanggilmu Ksatria Baja Hitam karena motor hitam milikmu itu. Tapi, aku tidak mau dikira penggemar fanatik Ksatria Baja Hitam yang mencoba mengirimi idolanya surat bila memakai nama itu. Tau kan, film anak kecil yang biasa tayang di hari Minggu itu? Tentu saja aku tidak mengidolakannya. Yang kuidolakan itu... kamu. Ksatria..ku?

Sudah lama ya tidak bertemu? Sekitar setahun? Seingatku, terakhir bertemu saat SMA kita dulu mengadakan bazar tahunan. Kamu datang bersama teman-temanmu. Aku melihatmu. Kau.. melihatku? Ah, entah. Aku tak tahu. Aku bukan siapa-siapa di hidupmu, mendapat spot saja aku tak bisa. Jadi mana mungkin kamu membuang waktumu hanya untuk mencari kehadiranku saat itu.

Meskipun kamu tak pernah menunjukkan keantusiasanmu denganku, anehnya aku tetap bertahan mengidolakanmu, sejak pertemuan pertama kita 7 tahun silam (jika aku tidak salah itung) saat aku masih duduk di bangku SMP. Kau pasti menganggapku sudah gila. Bagaimana bisa kita bertahan untuk mengidolakan seseorang selama itu?
....
.......
Oke, aku menyukaimu. Emh... apakah aneh jika aku bilang aku mencintaimu?
Ya, itu aneh sekali.
Fine! Baiklah, memang aneh jika aku berkata seperti itu. Tapi aku memang sulit mengontrol perasaanku padamu dan pada akhirnya memang itu yang kurasakan. Aku mencintaimu.

Aku terbiasa mencintaimu dalam diamku, dan alam bawah sadarku selalu menginginkanmu. Kau tahu, apa yang dulu kulakukan saat kita satu sekolah?
1. Mencari-cari sosokmu saat upacara Senin. Thank God aku selalu berhasil mengenalimu, tubuhmu yang sedikit berisi dan kulit hitam manismu itu.
2. Berjalan-jalan mengitari sekolah dengan rute yang sengaja kurancang melewati kelasmu, agar aku bisa melihat seperti apa tingkahmu bila berada di dalam kelas.
3. Menuju kantin yang sama jika istirahat tiba, hanya untuk mencuri-curi pandang ke arahmu di balik juice buah pesananku.
4. Mengirimimu sms-sms tidak penting, hingga hampir saja aku dimarahi kekasihmu.
..
Ya, sayangnya kau sudah punya kekasih.
Perasaanku masih terus bertahan, setidaknya sampai kau lulus SMA lebih dulu dariku. Aku mencoba mencari sisa-sisa bayangmu di sekolah, untuk mengobati rasa rinduku. Setahun berakhir, dan aku pun lulus. Aku menyusulmu, kuliah di tempat yang sama denganmu. Tapi sayangnya, saat aku berada di dekatmu lagi, kau memilih untuk pindah di tempat pendidikan lain. Jarak di antara kita makin terbentang lebar.

Saat itulah aku menyadari, mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Teman-temanku sok tahu dengan berkata:

"Aku yakin kalian berjodoh, tapi gak SMA ini, besok kalo udah lulus." 

Oh please, saat ini aku sudah duduk di semester 5, dan tak kunjung kulihat tanda-tanda kau akan menjadi jodohku. Karena sepertinya, kau sudah menemukan jodohmu, kekasih yang sama, yang dulu memarahiku karena menyukaimu. Kalian awet ya. Dan aku bahagia untukmu. Selalu.

Mungkin, hanya ini yang bisa kusampaikan. Perasaan itu mungkin masih ada, bersembunyi di sela-sela dinding hatiku. Mungkin dia takut untuk keluar, takut untuk terluka. Sudahlah, no offense ya, aku bahagia kok melihatmu dengan kekasihmu. Semoga berlanjut ke jenjang yang lebih serius ya. *wink*

Salam.
Perempuan yang pernah selalu menyerukan namamu selama 5 tahun.

Jadilah Milikku. Mau? #5


9 Juni 2010.

“Ranggi.”
“Tesia.”
Berawal dari sebuah pertemuan yang tak terduga. Aku sendiri. Dia sendiri. Duduk saling berseberangan. Dapat kulihat matanya sesekali mencuri-curi pandang ke arahku. Begitu juga dengan mataku yang selalu memandang kecantikan parasnya, meskipun wajahku mengarah ke tempat lain. Beruntung, dia menyilahkanku duduk di sampingnya, saat aku tak kuasa menahan rasa penasaran untuk ingin mengenalnya. Dan begitulah perkenalan kami berdua, yang tak kuduga akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan.

4 Maret 2011.

“Aku suka bau tubuhmu. Harum.” Tesia mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, menyandarkan kepalanya ke dadaku.
“Meskipun tubuhku basah oleh keringat?” tanyaku. Dapat kurasakan anggukannya di pelukanku. Kucium dan kuresap rambutnya, wangi shampoo yang biasa dia pakai.
Cukup lama kami berdua terdiam, meski saling berpelukan. Kunikmati harum tubuhnya, dia pun melakukan hal yang sama. Kaki telanjang kami berdua bertautan. Selimut tebal bercorak bunga menutupi tubuh kami berdua. Damai.
“Tesia?” panggilku, memecah keheningan yang sempat menguasaiku dan dia.
“Ya?”
“Jadilah milikku. Mau?”
...
Dia terdiam cukup lama, aku masih menunggu dalam asa, sampai akhirnya dia berkata.
“Bagaimana bisa aku menjadi milikmu, sedangkan kau masih menjadi milik perempuan lain?”
Tenggorokanku tercekat. Pelukanku makin lama makin mengendur. Aku ingin memutar waktu.



9 Juni 2010.

“Ranggi.”
“Tesia.”
Ya, aku tahu siapa kamu sayang. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu?

4 Maret 2011.

Kunikmati harum tubuhnya, dia pun melakukan hal yang sama. Kaki telanjang kami berdua bertautan. Selimut tebal bercorak bunga menutupi tubuh kami berdua. Dia damai. Aku cemas. Inilah saatnya.
“Tesia?”
“Ya?”
“Jadilah milikku. Mau?”
...
Ya, aku mau jadi milikmu. Cepat, lontarkan kalimat itu, Tes. Aku kini sendiri. Kuulang waktuku hanya untukmu.
“Apakah mungkin aku menjadi milikmu, sedangkan diriku masih menjadi milik orang lain?”
Tenggorokanku tercekat. Lagi. Ingin kuputar waktu. Aku janji, untuk terakhir kalinya.



9 Juni 2010.

Dia masih mencuri-curi pandang ke arahku, dan aku pun masih melakukan hal yang sama. Apakah harus aku melakukannya lagi? Berkenalan dengannya? Pertanyaan-pertanyaan serupa berkecamuk di otakku. Kuminum cepat latte ice milikku. Oke, mungkin ini saatnya.
Aku berjalan ke arahnya, dapat kulihat wajahnya seketika berubah cerah, berharap aku berhenti di mejanya. Namun, langkahku tak mau berhenti dan terus melangkah hingga meja kasir, membayar bill dan segera pergi dari tempat itu.
Aku tidak ingin menyakitinya. Lagi.
Aku tidak ingin menyakitiku. Lagi.
Mungkin, sekeras apapun aku berjuang, takdir tak menginginkan kami bersama.


pictures source: weheartit.com

Minggu, 15 Januari 2012

Kembalikan Potongan Cintaku

Hai Cupid.

Ingat aku? Beberapa bulan yang lalu, kau diam-diam mengambil sepotong cintaku, kau tancapkan ke ujung panahmu dengan hati-hati, dan kau panahkan ke lelaki itu cepat-cepat, tanpa bersuara. Kau tahu apa yang setelah itu terjadi? Oh, tentu kau tidak tahu. Kau pergi begitu saja, beralih ke klien-klien cintamu yang lain. Mungkin alangkah baiknya kuberitahu padamu, Cupid, apa yang terjadi setelah itu di kehidupanku.

Setelah sepotong cintaku kau ambil, DIAM-DIAM, aku tak tahu lagi bagaimana caranya menghapus namanya dari hatiku. Menghapusnya dari otak, pekerjaan yang mudah. Hati? Kau tahu bukan, otak dan hati selalu bekerja berlawanan. Otak lupa, hati tidak. Otak tidak, hati lupa. Seperti itulah. Namanya menyesaki ruang hatiku. Thank God, aku bernapas tidak menggunakan hati. Jika iya, aku bisa mati. Sesak rasanya.

Aku mulai memperhatikan segala gerak-geriknya, dimanapun dan kapanpun dia ada di dekatku. Sedikit saja posisi tubuhnya berubah, lampu mataku menyorotnya. Dia bergerak beberapa langkah, lampu mataku menyorotnya. Dia berbicara dengan kawannya, lampu mataku menyorotnya. Dia tertawa, lampu mataku menyorotnya. Dan sekarang, lampu mataku tak pernah lepas dari siluetnya. Mungkin, aku bisa tahu berapa kali dia menghirup nafas dalam satu menit.

Tak bertemu dengannya, tak membuatku hilang akal. Aku masih bisa melihatnya dari layar laptopku. Facebook. Apalagi? Aku tahu apa yang dia lakukan sesekali saat dia usai meng-update status. Aku tahu apa yang baru dia lakukan beberapa hari yang lalu, saat dia meng-upload foto-foto kegiatan kemahasiswaannya. Dan aku juga tahu, dia sudah tak sendiri lagi. In relationship with xxx.

Sesak. Sesak hati. Tak mampu berkata apa-apa lagi. Ingin segera kucari kau, sampai ke belahan bumi manapun. Cupid, dimana letak tanggung jawabmu? Kau membuatku jatuh cinta pada lelaki orang! Dan kini, tiap detik, tiap menit, tiap apapun satuan waktu itu berjalan, namanya masih menyesaki hatiku. Sekali lagi, beruntung aku tak bernafas dengan hatiku. Aku bisa mati, Pid...

Kau tahu, Cupid. Kau berhasil memperdayaku. Kau membuatku jatuh cinta, lalu kau menghilang sebelum kau menyelesaikan tugas terakhirmu. Kau tahu apa? Membuatnya jatuh cinta padaku. Tugasmu membuat dua orang saling jatuh cinta, bukan satu orang. Ah, lebih baik kau pensiun dini saja, jika hasil pekerjaanmu seperti ini. Itu saranku untukmu. Satu hal terakhir, tolong kembalikan potongan cintaku. Aku ingin jatuh cinta lagi, pada orang yang tepat, tapi tentu saja aku tidak akan menggunakan jasamu lagi. Aku dengar, Tuhan lebih bijak melaksanakan tugasnya menjodohkan umatNya. Terima kasih.

Salam,
Pemilik sepotong cinta yang kau curi.

 
pictures source: weheartit.com

Aku Maunya Kamu, Titik! #4

Rencana weekend minggu ini menyita hampir seluruh space data di otakku. Tak lagi kudengarkan pegawaiku memaparkan kondisi perusahaan untuk bulan ini. Slide demi slide yang dia tampilkan seakan tak terbaca oleh retina mataku. Aku hanya ingin rapat ini cepat berakhir, agar aku dapat segera pulang ke rumah, bertemu dengan dia, yang kucintai sepenuh hatiku.
Ya, akhirnya rapat ini berakhir sudah. Segera kutelepon sopirku, agar bersiap di depan lobby kantor. Jam tanganku, yang berhiaskan beberapa gram emas 24 karat, menunjukkan pukul 8 malam ketika mobilku memasuki halaman rumah. Lama-lama aku mengganti mobil ini dengan helikopter pribadi saja. Kemacetan Jakarta sungguh sulit untuk dipecahkan.

Aku berjingkat memasuki kamar, melihatnya. Sudah tertidur pulas. Mungkin kecapekan dengan segala aktivitasnya hari ini. Aku tidak menyalahkannya. Aku yang terlalu sibuk dengan karirku, hingga sedikit melupakannya. Kukecup lembut kening, pipi, dan bibirnya. Lembut. Goodnight, sweetheart. Besok kita akan meluangkan waktu bersama. Hanya berdua.
***
Peralatan untuk berlibur ke puncak untuk hari ini dan esok sudah selesai kusiapkan. Keperluanku, dan keperluannya. Dapat kudengar suaranya dari dalam kamarku. Dia sudah bangun. Kuambil hadiah untuknya, dan berjalan keluar kamar.

"Hei, lihat siapa yang sudah bangun sepagi ini?" ucapku, seraya tersenyum lebar kepadanya. Dia menoleh, kemudian memalingkan mukanya ke arah lain. Marahkah dia?

"Marah, ya? Sini..." aku membuka lebar tanganku, ingin menariknya ke dalam pelukanku. Namun, dia enggan melepas pelukannya dari pengasuhnya, baby sitter yang kupekerjakan semenjak dia lahir.

"Iya.. sini ikut Mama." Pengasuhku membantuku membujuknya.

"AKU MAUNYA KAMU, TITIK!" Dia berteriak keras, dan semakin mempererat pelukannya pada pengasuhnya.

Aku berdiri terpaku, dengan boneka Teddy Bear di tanganku, yang kemarin khusus kubelikan untuk Reyna, buah hatiku. Aku rasa... dia mulai melupakanku. Ibunya.

picture source : weheartit.com

Sabtu, 14 Januari 2012

One of My Inspiration



Kamar abang, 07.48 WIB

Selamat pagi, Mbak Wangi.

I don’t know what words should I wrote in this letter, mbak. Bingungnya melebihi kayak mau bikin surat buat pacar. Emh, gebetan. Emh, jodoh. Hehe.

I remember when we met for the first time, mbak. Di KFC deket Sutos, bulan Februari tahun lalu. Banyak orang-orang hebat di dalamnya, yang menginspirasiku agar tetap menulis, termasuk Mbak Wangi.

I’m a quiet person isn’t it? Dulu pengen pedekate ke Mbak Wangi (yak, pedekate!), agak takut-takut gimana gitu. Takut diculik, terus dikirim ke Hollywood, dipaksa jadi istri keduanya Tom Cruise dan happy ending. Tapi begitu follow akunnya Mbak Wangi, ternyata orangnya kocak juga. Kirain yang seriuuus banget begonoh di balik rupa cantikmu Mbak, ternyata sama aja kayak daku. Apalagi hashtag #SakKarepmuNge itu.

Terima kasih sudah bikin event #15HariNgeblogFF ya, mbak. Akhirnya blogku, yang sudah lama terkurung dalam sepi, jadi lumayan ramai. Banyak yang mampir di blogku, bisa aja deh nanti yang mampir itu jodohku. Dan bisa juga loh mbak, ada jodohnya Mbak Wangi. *wink

Mungkin segini aja dulu suratku, mbak. Maafkan daku ya mbak jika suratku terlalu sederhana. Namun, kesederhanaan ini sudah cukup dengan cinta dan kasih yang kugunakan untuk bingkainya, jadi semoga tidak terlalu mengecewakan. Thank you for being one of my inspiration people. *peluk

Kamu Manis, Kataku #3


Ada ya makhluk ciptaan Tuhan yang sebegini sempurnanya? Ya, Tuhan pasti menciptakan semua makhluknya secara sempurna fisik, tapi aku tidak pernah melihat lelaki sesempurna dia.
Tinggi badannya sekitar 180cm, dengan berat badan proporsional. Rambutnya cepak, berwarna hitam, dan berponi. Bukan poni Dora, si anak yang selalu tersesat kemana-mana itu. Oh, dan bukan poni lempar seperti anak band yang beberapa tahun lalu sempet booming itu. Poninya biasa aja. Standard Nasional Indonesia. SNI.

Sampai mana kita? Oh, rambut. Kita beralih ke alisnya. Alisnya cukup tebal, dan keduanya seperti terlihat menyambung. Ada rambut-rambut alis tipis yang tumbuh di tengah-tengahnya. Alisnya yang tebal mempertajam tatapannya. See? Saat ini dia tengah menatapku, dan aku seakan sedang menerima sengatan listrik dengan tegangan tinggi. Kupalingkan mataku, tak kuat menahan kekuatan matanya. Kekuatan? Dia bukan super hero kok. Tapi, dia super hero ku di dunia ini.

Hidungnya cukup mancung, bibirnya sexy, dan dagunya mengerucut di ujungnya jika dia tersenyum. Tubuhku seakan meleleh jika melihat senyumannya, seperti saat ini, seakan-akan tubuhku tak mempunyai tenaganya lagi.

“Kamu manis,” kataku tiba-tiba, meluncur begitu saja. Dia masih menatapku dan masih tersenyum. Ayolah, berilah tanggapan, jangan diam saja.

“Ega, ayo berangkat. Ditunggu papa nih,” teriak abangku dari luar kamarku.

Bola mataku berputar ke kanan, atas, dan kiri. Abangku kenapa gak seneng liat adiknya bahagia dan sedang ‘kencan’ dengan lelakinya sih?

“Aku berangkat sekolah dulu ya. Jangan sedih, nanti siang aku sudah pulang ke rumah kok,” ucapku, sambil melayangkan cium jauh untuknya.

Dia masih tersenyum, dan menatapku. Dia melekat erat di dinding kamarku. Sebuah poster. Idolaku.


Jumat, 13 Januari 2012

Goodnight, Troy

"Kamu terlalu baik buatku,"

Itu kalimat terakhir yang dia ucapkan padaku. Murahan. Ayolah. Apa aku tampak seperti perempuan polos yang sekian tahun hidup di desa, tak tahu apa-apa dan nekat merantau ke kota kemudian bertemu dengannya? Dengan teganya, -aku menduga dia tak punya hati-, dia melangkah meninggalkanku sendirian di restoran favorit kami berdua, dengan bill yang ternyata belum dia bayar. Lelaki macam apa pula dia? Tak tahu tata krama kah dia? Bisa dibilang, malam itu adalah malam terburukku. Diputusin, disuruh bayar bill, dan... AHA! dan terkatung-katung di jalanan raya menunggu kendaraan umum.

"El,"

Lamunanku mengabur, dan mataku kembali normal melihat wajah orang yang memanggil namaku, setelah sebelumnya mataku hanya menampakkan background hitam-putih masa lalu. Mataku terpaku menatap orang di hadapanku ini, bibirku tak bergerak, dan sepertinya aku hampir tak bisa merasakan nafasku sendiri.

"Troy," ucapku, akhirnya.

Troy, lelaki yang baru saja kulihat di proyektor mataku. Aku cukup terkejut dengan kehadirannya, yang ternyata mempunyai cukup nyali untuk menemuiku kembali, setelah peristiwa peninggalan-mantan-kekasih-beserta-bill beberapa bulan yang lalu itu.

"Ada apa? Mendadak sekali kau ingin bertemu denganku," ucapnya, setelah selesai memposisikan duduknya di kursi seberangku.

Aku menggeleng, dan tersenyum. "Tak apa. Tiba-tiba saja aku teringat denganmu saat kemarin melewatkan lunch dengan klien di restoran ini,"

"Teringat padaku?" tanyanya, mengulang kalimatku dan kemudian tersenyum lebar. "Ah, kau merindukanku, ya?"

Rindu? Seperti itukah perasaanku padamu? Mungkin. Ya, jika itu katamu.

Sebagai respon, aku hanya mengedikkan bahuku dan tersenyum manis padamu. Masih sama manisnya saat kau masih menjadi pasanganku. Masih sama manisnya saat kau meninggalkanku dengan alasan murahan itu. Dan masih sama manisnya saat ku tahu bahwa kau telah memiliki penggantiku, hanya selang dua hari setelah kau memutuskanku. Hebat. Aku masih bisa tersenyum manis. So proud of me!

Kemudian kau bercerita banyak tentang kehidupanmu setelah kepergianku. Oh, setelah kepergianmu dariku. Kau bilang kau menyesal telah meninggalkanku. Kau bilang kau tak bisa menemukan penggantiku, perempuan yang perhatian seperti diriku. Anehnya, kau bilang akulah yang terbaik.

Aku menggeleng tak percaya. "Bukankah alasan kau meninggalkanku saat itu, adalah aku terlalu baik untukmu?"

Kurasakan jemarimu menggenggamku perlahan. "Aku salah saat itu, El. Maafkan aku. Aku kangen kamu,".

Kubalas genggaman jemarimu di jemariku, dan tersenyum.

"Aku juga. Mengapa kita tak pulang ke apartemenmu saja, dan kemudian bernostalgia akan kenangan-kenangan manis kita berdua dulu?" tawarku padanya.

"Dengan senang hati, princess."

Ah, semudah inikah untuk kembali ke pangkuan seorang Troy? Aku mengutuk diriku mengapa tak sejak dulu melakukan hal ini. Mengapa menunggu hampir setahun untuk mengumpulkan keberanian bertemu Troy? Sudahlah, toh kini aku sudah berada di mobilnya, meluncur ke apartemennya.

"Welcome back, princess,".

Troy membukakan pintu, kemudian membungkuk dan tangannya menyilakanku masuk ke dalam apartemennya. Kuedarkan mataku. Tempat ini masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Keringat dingin mulai kurasakan di tubuhku, dan jantungku berdegup cepat.

"I miss you," ucap Troy di daun telingaku, seraya menarikku ke dalam pelukannya. Aku hanya tersenyum malu mendengarnya. Ini saatnya.

JLEB!

Troy terdiam dan hanya menatapku tak percaya. Tangannya kini memegang perutnya, yang tertancap sebuah pisau belati.. milikku.
"Kenapa, El?" tanyanya di sela-sela rintihan kesakitannya.

"Seperti itulah sakit yang kurasakan setahun ini, Troy. Ya, aku merindukanmu. Aku tak sabar untuk bertemu denganmu. Tapi sepertinya, konsep rindu milik kita berdua berbeda."

Tawaku memecah keheningan malam ini. Kuambil tas genggamku dan segera melangkah keluar dari apartemennya.

"Goodnight, Troy. Sleep tight."

Dag Dig Dug! #2


Aku berjanji akan mengutarakan perasaanku padanya,”
Mataku terbuka lebar. “Bener? Yakin?”
Dia mengangguk. “Kamu saksi dari ucapanku ya,”
Lalu kami berdua menautkan kedua kelingking kami dan diakhiri dengan menempelkan kedua ibu jari kami.
                Setahun berlalu sejak perjanjian sederhana itu. Seharusnya aku tahu, bahwa dia tak akan berhasil menepati janjinya. Perasaan itu, yang menurutnya merupakan sebuah ramun penuh serbuk-serbuk cinta, masih setia ngendon di sudut ruang hatinya. Bukan karena tak mau, namun serbuk-serbuk cinta itu tak bisa keluar dari ruang hatinya. Pintu hatinya telah tertutup. Sama seperti kedua matanya yang tak akan pernah terbuka lagi, tak pernah lagi akan membagi kerlingan-kerlingan matanya seiring cecandaan yang dia lontarkan. Dia telah pergi, membawa ikut serta serbuk-serbuk cintanya pada lelaki itu.

**

                Kuelus perlahan batu nisan bertuliskan namanya, tanggal dimana dia dilahirkan di dunia ini dan tanggal dimana dia harus meninggalkan dunia ini. Meninggalkan aku. Meninggalkan lelaki pujaannya.
                “Kamu pernah bilang, janji harus ditepati bukan?” tanyaku padanya, yang bersembunyi di dalam batu nisan ini.
             “Lalu, bagaimana jika aku mengeluarkanmu dari dalam sana, kemudian membawamu pergi ke tempat lelaki pujaanmu, agar kau bisa mengeluarkan semua serbuk-serbuk cinta itu?”
Aku tertawa, makin lama makin lirih, dan kemudian tawaku hilang. Aku masih waras, tak cukup gila untuk melakukan apa yang barusan kukatakan.
“Baiklah. Ijinkan aku mengambil alih tugasmu, ya? Tenang, aku tak akan salah orang,” ucapku, sambil tersenyum memegang selembar foto. Tampak sosok lelaki pujaanmu yang melebur dalam keramaian ruang kelasmu.
“Lelaki ini, ‘kan?”. Kuarahkan potret dirinya ke arahnya. “Baiklah, aku pergi. Aku akan mengabarimu setelah misi ini selesai.”

**

Atma Torino. Atma Torino. Atma Torino. Kuulang terus nama lelaki yang ada di foto ini, sambil terus mengedarkan mataku sekeliling tempat ini. Tak banyak orang di lorong ini. Hanya ada beberapa lelaki dan perempuan yang duduk di meja dekatku berdiri. Dapat kulihat mereka tengah berbicara dengan nada yang berbisik, sambil sesekali melihat ke arahku. Aku tahu hal ini akan terjadi.
Aku menoleh ke pintu ruang kelas di sebelahku yang mendadak terbuka, dan seorang laki-laki paruh baya yang menenteng tas kerjanya berjalan keluar diiringi mahasiswa-mahasiswinya. Dan seketika itu pula aku menangkap sosok lelaki itu. Aku berjalan cepat mengejar langkahnya.
“Atma!” Kuberanikan diri untuk memanggilnya.
Atma berhenti dan berbalik. Tubuhnya terpaku saat melihatku di hadapannya, seakan dia sedang melihat hantu. “Ni..Nina?”
DAG DIG DUG!
Jantungku berdetak tak beraturan saat aku memandang Atma, seperti kehilangan irama hidupku.
DAG DIG DUG!
Makin lama, makin cepat. Slows down. Ada apa dengan diriku?
DAG DIG DUG!
Nina, apakah serbuk-serbuk cintamu sudah berpindah di hatiku? Seperti inikah perasaanmu pada lelaki di hadapanku ini? Ninaaaa..
“Aku...aku Nena,” ucapku pada akhirny dan aku tak mampu berkata-kata lagi.
Sejak saat itu, aku mampu terbiasa dengan irama jantungku saat melihat Atma, lelakimu yang kini telah menjadi lelakiku.
DAG DIG DUG! DAG DIG DUG! DAG DIG DUG!
Nina, akukah yang mencintainya? Ataukah tetap kamu, yang hidup di dalam tubuhku?