Minggu, 17 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo #6



"Kamu datang?"

Dia menggeleng.

"Masih belum tau," jawabnya.

"Masih cinta?"

"Mungkin," jawabnya sambil mengedikkan bahunya. "Aku tak tahu pasti," lanjutnya.

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Gak ingin mencari tahu secara pasti? Apakah masih cinta atau tidak? Setelah mengetahuinya secara pasti, kamu akan tahu langkah apa yang harus kamu ambil selanjutnya," kataku ulang, memperjelas.

"Bagaimana caranya?"

"Dengan datang bersamaku," jawabku.

Aku menggeleng.

"Nanti aku diusir," jawabnya santai, lalu menggigit kecil serabi solo pesanannya yang masih hangat.

"Kan kamu datang denganku, tidak akan diusir," kataku.

Dia diam saja, menghabiskan sisa serabinya dalam diam. Setelah serabinya habis, dia mengambil sebuah kertas tebal yang sedari tadi ada di tanganku.

Yoga Permana
&
Friskasya Endah

 Hotel Kusuma Sahid Prince, Solo

"Aku tahu maksudmu baik, Gik. Tapi tanpa perlu menghadiri pernikahan itu pun aku tahu secara pasti seperti apa perasaanku sebenarnya. Cintaku padanya sehangat serabi solo yang baru saja kumakan," jelasnya.

"Kamu masih mencintainya?"

Dia tersenyum, menoleh ke arahku, dan tersenyum penuh arti. Senyum yang selalu membuatku jatuh hati.

"Dulu. Cintaku seperti itu. Hangat. Menggoda. Namun kamu tahu apa yang terjadi jika terlalu lama kamu membiarkan sesuatu yang hangat? Hangat itu memudar, Gik. Tergantikan oleh dingin. Seperti hangat itu, cintai tu memudar," lanjutnya.

"Datanglah bersamaku, kalau begitu," ajakku. Lagi.

Dia menggeleng, menyandarkan bahunya padaku, dan menggenggam tanganku.

"Kamu mau aku diusir istrinya?"

Dia tertawa pelan dan kemudian kembali memasang mimik serius.

"Kamu tahu kita tak akan pernah bisa lebih dari ini, Gik. Dia kakakmu. Lagipula, aku tak ingin menyakiti atau disakiti lagi oleh seorang Permana. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku," ucapnya.

Kontras dengan semua perkataannya, entah mengapa aku merasa dia tak setegar itu. Mungkin ini semua salahku, saat beberapa bulan yang lalu aku menyeretnya kembali ke kehidupan seorang Permana.


Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga #5


| 9 Juni 1995... |

Tangannya menggenggam erat tanganku.

"Aku ingin permen itu," pintaku seraya menunjuk ke seberang jalan dengan tanganku yang terbebas dari genggamannya.

"Tapi mama menyuruhku menjagamu di sini," katanya.

"Aku mau itu...," pintaku dengan nada memelas.

"Baiklah. Tapi kau tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana."

Aku mengangguk. Kurapatkan tubuhku ke dinding toko makanan di belakangku. Kulihat dia sudah tiba di seberang jalan dan membawa dua permen gulali.

"Ini."

Aku menerima permen gulali itu dengan senyum lebar.

"Kau ini menyusahkan saja," ujarnya sambil ikut menikmati permen gulali miliknya.

"Terima kasih, Dito," kataku.


***

| 16 Juni 2012 |

"Finally! Jalan Braga! Kita bakal banyak dapat foto di sini!"

Aku tersenyum melihat reaksi sahabatku, Fira. My partner in crime, menyetujui ajakanku untuk kabur ke kota ini sebelum menghadapi ujian akhir minggu depan.

"Lu tau dari mana ada tempat seetnik ini? Internet?"

"Dulu aku pernah ke sini," jawabku.

"Oh ya? Lu pernah tinggal di Bandung?" tanyanya terkejut.

Aku mengangguk.

"Cuman sampe aku umur 5 tahun. Setelah itu, aku pindah ke Surabaya," jawabku.

"Aku hunting foto dulu ya mbaksist. Lu puas-puasin nostalgia deh," ujar Fira seraya berjalan pergi meninggalkanku sambil mengarahkan kameranya ke segala sudut bangunan tua di sini.

Mataku menangkap sosok bapak penjual permen gulali  beberapa meter di depanku Aku tersenyum. Aku berada di jalan yang tepat.

"Pak, permennya dua ya."

Sesosok laki-laki tiba-tiba muncul di hadapanku. Rambutnya dipotong cepak dan berwarna hitam. Kacamata dengan frame hitam menghiasi wajahnya.

"Ini, Mas Dito. Seperti biasa, ya?"

Laki-laki itu tersenyum dan menyebrang jalan setelah memberi uangnya kepada bapak penjual gulali. Tunggu, siapa namanya? Dito?

Mataku mengikuti kemana laki-laki itu pergi, ke sebuah kedai kopi tepat di seberangku. Deli's Coffee. 


Dia itu...


***




"Selamat datang di Deli's Coffee," sapa seorang pramusaji ketika aku masuk ke kedai kopi ini. Laki-laki itu tengah duduk seorang diri di sudut ruang. Tampak dua permen gulali yang dibelinya tadi diletakkan di atas sebuah piring kecil.

"Dito?"

Dia menoleh begitu mendengar sapaanku. Dahinya mengerut begitu melihatku.

"Siapa, ya?" tanyanya.

"Deli."

Aku tersenyum.

"Deli? Deli yang dulu itu? Sekecil ini?" tanyanya seraya mengira-ngira tinggiku saat itu dengan tangannya.

Aku mengangguk.

"Ya Tuhan! Kamu memang Deli yang itu. Senyummu masih sama ya?"

Dito bangkit dan memelukku erat. Sepertinya. Aku tak bisa membedakan siapa yang lebih rindu.

"Jadi, Deli's Coffee? Suatu kebetulan atau sengaja kamu menggunakan namaku?" tanyaku saat kami sudah duduk berhadapan.

"Aku sengaja melakukannya, agar kamu dapat menemukanku. See? Berhasil bukan?"

Aku mengangguk.

"Kamu cantik, Del. Lebih cantik dari terakhir kita bertemu dulu," katanya.

Aku tersipu.

"Jujur, aku sama sekali tidak ingat ama kamu. Yang kuingat hanyalah namamu, Dito. Dan kini melihatmu, aku mulai teringat Dito kecil yang dulu. Ya, aku mulai ingat semuanya."

Dito tersenyum kepadaku.

"Akhirnya kamu datang. Masih suka dengan permen gulali ini bukan?"

Dito memberikan satu permen gulali padaku.

"Tiap hari kau membeli permen ini? Dua biji?" tanyaku.

Dia mengangguk.

"Dan saat aku tak datang?"

"Aku memakannya semua," jawabnya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa bersamanya. What a wonderful day! I finally found him!

***

"Del! Deli!"

Aku membuka mataku dan wajah Fira adalah gambar pertama yang berhasil kutangkap dengan jelas.

"Thank God! Kamu sakit, Del?" tanyanya.

Aku menggeleng dan melihat ke sekelilingku. Jalanan Braga. Masih di jalan ini. Aku duduk berselonjor dengan bersandar pada dinding sebuah toko.

"Kamu pingsan di sana."

Deli menunjuk ke arah sebuah bangunan usang. Aku masih bisa membaca tulisan di papan nama bangunan itu. Deli's Coffee.

Aku bangkit dan berlari menuju Deli's Coffee, tak menghiraukan tatapan orang-orang di sekitarku.

Dengan nafas tersengal-sengal akibat berlari, aku berusaha menerjemahkan semuanya. Deli's Coffee. Aku ada di depannya. Tapi tak sama seperti yang baru saja kualami barusan, bangunan ini berwarna kehitaman seperti bekas kebakaran.

"Deli! Kamu kenapa sih? Kata orang-orang, kamu tiba-tiba pingsan setelah menyebrang ke depan tempat ini," jelas Deli setelah berhasil menyusulku.

"Tadi aku gak pingsan, Del. Aku baru aja masuk ke dalam toko ini," kataku.

"Del, kamu pingsan. Dan gak mungkin kamu masuk ke toko ini. Toko ini kebakaran beberapa bulan yang lalu."

Aku menggeleng.

"Tadi aku ketemu Dito, Fir! Dito! Teman masa kecilku yang aku sendiri lupa wajahnya," jelasku.

"Toko ini kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu dan pemiliknya ikut terbakar karena tidak sempat menyelamatkan diri."

Aku dan Deli menoleh ke pemilik suara. Bapak penjual gulali.

"Deli?" tanya bapak itu kepadaku.

Aku mengangguk.

"Dia selalu menunggumu sejak dulu di tempat ini. Dan memutuskan untuk mendirikan sebuah kedai kopi dengan namamu, berharap agar kamu menemukannya. Setiap hari dia membeli 2 gulali, untuk berjaga-jaga jika kamu menampakkan dirimu di sini."

Bapak itu memberi 2 gulali ke tanganku.

"Akhirnya kamu datang, Nak. Meski dia kini sudah berada di alam lain, bapak yakin dia masih tetap menunggumu. Bagaimana? Kamu sudah bertemu dia?"

Aku mengangguk perlahan. Bibirku bergetar mendengar semua perkataan bapak itu. Kulihat lagi kedua permen di tanganku. Masih sama seperti dulu.

Terima kasih, Dito. Terima kasih sudah menungguku.

***

| 9 Juni 1995|

"Dito, terima kasih ya sudah menjaga adik kecilnya."

Aku mengangguk.

"Ayo, Deli. Kita pulang. Jeng, kapan-kapan kita jalan lagi ya, sebelum aku ama suamiku pindah ke Surabaya," kata tante itu pada mamaku.

"Pasti, Jeng. Kabar-kabar aja kalo mau ketemu," timpal mama.

"Aku pulang dulu ya, Jeng. Dito, tante pulang duu ya. Ayo Deli, kita pulang."

Dan tante itu mengajak Deli pergi. Deli melambaikan tangannya ke arahku di pelukan perempuan itu. Aku membalas lambaiannya.

"Besok main lagi ya!" teriakku.

Dia mengangguk seraya tersenyum kepadaku. Senyum yang tidak akan pernah kulupakan.

-FIN-



Kamis, 14 Juni 2012

Blue Flower Shawl

I just bought blue flower shawl from @DressUpForLife. Totally love it! What do you think?


Jingga di Ujung Senja


Merah, tapi tak sepenuhnya merah. Kuning, tapi tak sepenuhnya kuning. Aku menyebutku Jingga, seperti jingga di ujung senja.

"Ini baru yang namanya surga, menikmati indahnya panorama sore bersama orang terkasih."

Aku menoleh, dan tersenyum.

"Dengan jagung rebus yang melumer manis di mulut ketika terkena gigit," lanjutku.

Yogi, namanya, tertawa.

"That's the reason why I love you. You complete me," ucapnya sambil terus melanjutkan menghabiskan sedikit demi sedikit jagung rebus di tangannya.

Aku merangkulkan tanganku ke lehernya dan berteriak, "Woooo!"

Keadaan di sekeliling kami seketika hening. Beberapa pejalan kaki menghentikan perjalannya, dan berhenti. Yang terdengar hanyalah deru mesin mobil-mobil yang lalu-lalang di belakang kami.

"Hahaha.." Yogi berusaha keras memperkecil volume tawanya. Begitu juga denganku.

"Gila," katanya.

"Thank you," timpalku.

"Kapan terakhir kita menikmati quality time berdua seperti ini?"

Aku terdiam.

"Aku lupa karena terlalu lama kita tidak seperti ini," jawabku.

Yogi mengangguk, setuju dengan jawabanku.

Aku memandangi wajahnya dari sudut mataku. Alisnya yang tebal. Sorot matanya yang tajam. Bibirnya yang tipis kala tersenyum. Masih sama seperti dulu.

"Why? Ada yang aneh?" tanyanya.

"Enggak. You're a handsome man," jawabku.

"Terima kasih. Bersyukurlah karena aku jatuh di orang yang tepat," katanya sambil merangkul bahuku.

Aku tersenyum. Getir.



***

|| Beberapa tahun silam . . . ||

"Yog, kenalin. Sahabatku dari Jakarta, Risa," ucapku sumringah memperkenalkan sahabat baruku pada Yogi, teman semasa kecil yang telah bertransformasi menjadi sahabat sejak dulu.

"Yogi."

"Risa."

Dan mereka berdua tersenyum satu sama lain. Aku pun tersenyum melihat kedua sahabatku ada di sisiku.

***

Kini baru aku tahu arti senyum mereka berdua kala itu.

"Len, dapat salam dari Risa. Dia minta maaf gak bisa ikut pulang ke Palembang. Kangen banget padahal," ucap Yogi setelah menutup teleponnya.

"I miss her too."

Aku tersenyum, dan menikmati sisa-sisa jingga yang tergerus hitamnya malam.

Yes, I'm a Jingga. Tanpaku, mereka tak akan bersatu. Jika tak ada Jingga, Merah dan Kuning tak akan pernah bersatu.




Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan #2


Mataku fokus mencari sosok seorang gadis muda yang sangat kuhafal, tak sempat mengagumi pemandangan alam di sekitarku. Lautan luas dan kumpulan awan yang berjajar membentuk seolah siap menyambut sang mentari terlahir untuk kesekian kali. Semburat kuning keemasan mulai tampak. Aku menaikkan resleting jaketku. Masih membekas dingin semalam di pulau ini. Sinar mentari masih tak kuasa mengalahkannya.

Kupercepat langkahku menyusuri pantai, kembali fokus mencari gadis muda itu. Antara cemas dan kesal, aku tak juga menemukannya. Dia pasti termasuk rombongan yang tiba sebelum rombonganku. Siapa yang tak ingin menyaksikan sunrise selagi di Belitung? Apalagi gadis muda ini sangat menggilai sunrise. Selalu membuka jendela kamarku di pagi hari hanya untuk menikmati sunrise dari balik gedung-gedung tinggi ibu kota.

Mataku melebar kala aku menemukan sosok yang kucari.

"Monik!"

Dia menoleh dan seketika mulutnya menganga lebar melihatku.

"Kak! Ngapain di sini?"

Aku mendengus kesal saat dia melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Otakmu jatuh tenggelam di lautan ya? Kamu gak tau gimana mama-papa cemas mikirin kamu yang ngilang tiba-tiba? Anak muda jaman sekarang kalo kemauannya gak diturutin, ngambeknya ekstrim ya? Kamu sama siapa ke sini? Sendirian? Nginep dimana?"

Monik tersenyum dan menggeleng.

"Sama teman-temanku, trus patungan nginep di hotel deket sini," jawabnya sambil menunjuk ke gerombolan anak muda yang lagi haha-hihi.

"Setelah sunrise, balik ke hotel, beresin bawaanmu, dan kita pulang ke Surabaya," kataku.

Monik tampak ingin membatah kata-kataku dan buru-buru kutambahkan, "Ini perintah dari mama-papa. Kalo kamu gak mau, siap-siap aja duit bulananmu dipotong."


Aku melangkahkan kakiku pergi ke sisi lain pantai, meninggalkan Monik yang masih kesal karena sikapku. Aku tak mengerti anak muda jaman sekarang. Mereka kira mereka sudah dewasa dan mandiri, tapi apa arti semua itu jika masih harus ada orang yang menjaga mereka? Bodoh ah. Seenggaknya urusan Monik kelar.

Aku tiba di sisi pantai yang sepi, tak banyak pengunjung yang mengambil spot di sini. Sang mentari perlahan namun pasti mulai memancarkan seluruh sinarnya ke bumi. Hangat. Mengingatkanku pada seseorang.

Mataku masih mengawasi Monik dari kejauhan, kala ada seorang perempuan yang berada di jalur penglihatanku. Perempuan yang sempat menjadi bagian hidupku beberapa tahun silam, hingga akhirnya berakhir karena kami tak kuasa menahan jarak yang membentang. Fina. Bukannya membuka mata, dia justru memejamkan matanya dengan senyum yang tersungging di wajahnya.

Aku suka sinar sunrise, Rik. Dia membasuh wajahku dengan lembut, kontras dengan air yang segar. Mereka seperti Yin & Yang. Berbeda, tapi melengkapi. Aneh, tapi aku suka.

Fina menoleh ke arahku, tersenyum. Tangannya melambai ke arahku, menyuruhku untuk menghampirinya.

I miss you, sunrise,” kataku.

I miss you too, sunshine. Every day,” bisiknya di telingaku. Kupejamkan mataku saat bibirnya mencium lembut pipiku dan saat kubuka mataku, dia menghilang tergantikan oleh udara kosong di hadapanku.

Teringat akan sesuatu, cepat-cepat kulihat jam di HP-ku. 13 Juni 2012. Hari jadi kami ke-7… jika dia masih hidup.


EPILOG

Aku tersenyum puas kala lelaki itu menemukanku. Kakakku yang tersayang. Aku tahu pasti dia bisa menemukanku dengan mudah di tempat ini. Pulau Lengkuas yang menjadi tempat favoritnya dengan Kak Fina.

Aku punya permintaan, Nik. Ajak kakakmu setiap tanggal 13 Juni ke Pulau Lengkuas, ya? Aku ingin dia tahu, bahwa aku akan selalu hidup di hatinya.


Itu pesan terakhir Kak Fina sebelum akhirnya dia menutup mata untuk selamanya. Tahun ketiga mulai terasa berat untuk mencari-cari alasan pergi ke tempat ini. Alhasil, aku harus pura-pura marah dan kabur ke tempat ini, karena aku tahu Kak Erik pasti akan menyusulku ke tempat ini. Aku menyukai sunrise sejak kepergian Kak Fina. Entahlah. Dia seperti meminjam tubuhku untuk membangunkan Kak Erik setiap pagi. Saat pagi tiba, aku bukanlah aku.

Senin, 11 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau #1


"Sorry telat."

"Namaku bukan telat. Indah."

Aku meringis mendengar jawabannya. Kuambil tempat di sampingnya.

"Iya. Sorry, Ndah. Gak bermaksud telat, tapi kendaraanku jalannya lambat," jelasku.

Indah memandangku heran.

"Emang lu naik apa?"

"Tuh," jawabku seraya menunjuk ke seberang kami berdua dengan daguku.

"Delman? Kemana emang motor lu?"

"Dipake adekku. Lagian aku rindu dengan semuanya yang ada di kota ini," jawabku seraya memejamkan mataku dan tersenyum.

"Najis. Kelamaan idup di Ibu Kota sih, budaya telat di diri lu makin merajalela. Gak malu ama Jam Gadang di depan lu ini? Setiap hari dia ngingetin kita buat on time."

Aku tertawa. Ini yang bikin kangen banget ama Indah. Omelannya sesuatu banget.

"Malah ketawa. Lu di sini sampe kapan?"

"Seminggu doang."

"Bentar banget."

Aku menangkap ada intonasi yang berbeda dari suaranya.

"Kenapa? Gak rela ya?" tanyaku sambil menempelkan telunjukku ke pipinya.

"Iya, aku gak rela."

Aku tertegun mendengar jawabannya, gak nyangka.

"Datang tiba-tiba, ilang juga tiba-tiba. Kasih kepastian gitu kek ke kita. Temenan, kagak. Pacaran, kagak."

Aku menghela nafas, kemudian menarik perlahan kepalanya untuk bersandar di bahuku.

"Belum saatnya, Ndah. Yang perlu kamu tahu adalah bahwa kamulah alasan tiap beberapa bulan sekali aku pulang ke Bukit Tinggi."

"Sampai kapan? Saat yang tepat itu kapan?"

Saat aku mendapat lampu hijau dari kekasihku, Ndah... untuk memutuskannya.


nb: click pictures to know the source of each picture. :3

Minggu, 10 Juni 2012

Revenge Season 1 | Serial TV Review

Saya baru saja selesai menonton episode terakhir Revenge Season 1 dan saya benar-benar speechless. Kalimat pertama yang terlintas di otak saya adalah "Penulisnya benar-benar hebat!"
Sejak awal menonton serial tv ini, saya sudah dibuat kagum bagaimana penulisnya membuat jalan cerita yang begitu menakjubkan! Dia tahu bagaimana harus menempatkan klimaks dan memberikan ending cerita yang sangat sangat sangat membuat penonton terpukau dan penasaran untuk menonton Revenge Season 2!

Para pemerannya pun benar-benar mahir berakting. Siapa sangka bahwa di dunia nyata, dua orang ini benar-benar menjalin cinta?


Dari 5 bintang, saya beri skor 5 penuh untuk serial ini! Worth watching tv series so far!

Jumat, 08 Juni 2012

Wonder-shawl-ful

Here some pictures of mine with my best friend, Urwatuz Zahara. It was a crazy night because it's her first time wore shawl like that. We went to theater to watched MIB 3. This movie has a unexpected anti-klimaks. Super duper love it! <3





Brown Cerruti Scarf

So, two days ago I tried to wear my scarf in 2 model of hijab. I love it so much.

- scarf bought from Labbaika HC -

What do you think?

Salah Satu Tips Move On

"Saat dirimu mencoba untuk move on, ajak sahabat-sahabatmu untuk melakukannya juga."

Seringkali sebagian besar dari kita, termasuk saya, lupa akan pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu hubungan percintaan. Keluargamu. Keluarganya. Sahabatmu.
Saya punya alasan kuat yang mendasari statement saya di atas.
Kemana dan pada siapa anda mengadu saat hubungan percintaan anda sedang mengalami masalah? Sahabat.
Kemana dan pada siapa anda menceritakan kencan pertama anda? Sahabat.
Kemana dan pada sapa anda saat sedang menyukai seseorang? Sahabat.
Jadi, saat anda ingin move on entah dari siapapun itu, yang sahabat anda ketahui, maka ajaklah sahabat-sahabat anda untuk ikut move on.
Tidak percaya? Saya beri contoh.
Anda : "Aku benar-benar harus move on. Ya, aku pasti bisa!"
 *Saat bertemu sahabat anda*
Teman : "Eh, si A lewat tuh. Ciye...."
 Anda : ". . . Sial, barusan aja move on"
*Beberapa waktu kemudian saat anda mulai move on*
Teman : "Eh, tau gak sih? Tadi aku ketemu si A di kantin lagi makan sama si B."
Anda : "Trus...?"
Teman : "Gak pengen nyusul dia ke kantin? Lumayan kan bisa ngecengin. Ciye....."
Anda : ". . ."
See? Pernah mengalami saat-saat seperti itu bukan? Jadi, saat anda memutuskan untuk move on dari orang terkasih, ajak serta sahabat-sahabat anda.

source : weheartit.com

Selasa, 05 Juni 2012

Yang Terbuang

Lama aku menantikan saat ini datang.
Saat dimana rasaku padamu hilang.
Mungkin benar dirimu bimbang.
Aku atau dirinya yang kamu sayang.
Tanpa perlu kamu mengucap kata, aku tahu bahwa dirikulah yang kau buang.

sumber: weheartit.com