Mataku fokus mencari sosok seorang
gadis muda yang sangat kuhafal, tak sempat mengagumi pemandangan alam di
sekitarku. Lautan luas dan kumpulan awan yang berjajar membentuk seolah siap
menyambut sang mentari terlahir untuk kesekian kali. Semburat kuning keemasan
mulai tampak. Aku menaikkan resleting jaketku. Masih membekas dingin semalam di
pulau ini. Sinar mentari masih tak kuasa mengalahkannya.
Kupercepat langkahku menyusuri
pantai, kembali fokus mencari gadis muda itu. Antara cemas dan kesal, aku tak juga
menemukannya. Dia pasti termasuk rombongan yang tiba sebelum rombonganku. Siapa
yang tak ingin menyaksikan sunrise selagi di Belitung? Apalagi gadis
muda ini sangat menggilai sunrise. Selalu membuka jendela kamarku di
pagi hari hanya untuk menikmati sunrise dari balik gedung-gedung tinggi
ibu kota.
Mataku melebar kala aku menemukan
sosok yang kucari.
"Monik!"
Dia menoleh dan seketika mulutnya
menganga lebar melihatku.
"Kak! Ngapain di sini?"
Aku mendengus kesal saat dia
melontarkan pertanyaan seperti itu.
"Otakmu jatuh tenggelam di
lautan ya? Kamu gak tau gimana mama-papa cemas mikirin kamu yang ngilang
tiba-tiba? Anak muda jaman sekarang kalo kemauannya gak diturutin, ngambeknya
ekstrim ya? Kamu sama siapa ke sini? Sendirian? Nginep dimana?"
Monik tersenyum dan menggeleng.
"Sama teman-temanku, trus
patungan nginep di hotel deket sini," jawabnya sambil menunjuk ke
gerombolan anak muda yang lagi haha-hihi.
"Setelah sunrise, balik
ke hotel, beresin bawaanmu, dan kita pulang ke Surabaya," kataku.
Monik tampak ingin membatah
kata-kataku dan buru-buru kutambahkan, "Ini perintah dari mama-papa. Kalo
kamu gak mau, siap-siap aja duit bulananmu dipotong."
Aku melangkahkan kakiku pergi ke
sisi lain pantai, meninggalkan Monik yang masih kesal karena sikapku. Aku tak
mengerti anak muda jaman sekarang. Mereka kira mereka sudah dewasa dan mandiri,
tapi apa arti semua itu jika masih harus ada orang yang menjaga mereka? Bodoh
ah. Seenggaknya urusan Monik kelar.
Aku tiba di sisi pantai yang sepi, tak
banyak pengunjung yang mengambil spot di sini. Sang mentari perlahan
namun pasti mulai memancarkan seluruh sinarnya ke bumi. Hangat. Mengingatkanku
pada seseorang.
Mataku masih mengawasi Monik dari
kejauhan, kala ada seorang perempuan yang berada di jalur penglihatanku. Perempuan
yang sempat menjadi bagian hidupku beberapa tahun silam, hingga akhirnya
berakhir karena kami tak kuasa menahan jarak yang membentang. Fina. Bukannya
membuka mata, dia justru memejamkan matanya dengan senyum yang tersungging di
wajahnya.
Aku suka sinar sunrise, Rik. Dia membasuh wajahku dengan
lembut, kontras dengan air yang segar. Mereka seperti Yin & Yang. Berbeda,
tapi melengkapi. Aneh, tapi aku suka.
Fina menoleh ke arahku, tersenyum.
Tangannya melambai ke arahku, menyuruhku untuk menghampirinya.
“I
miss you, sunrise,” kataku.
“I
miss you too, sunshine. Every day,” bisiknya di telingaku. Kupejamkan
mataku saat bibirnya mencium lembut pipiku dan saat kubuka mataku, dia menghilang
tergantikan oleh udara kosong di hadapanku.
Teringat akan sesuatu, cepat-cepat
kulihat jam di HP-ku. 13 Juni 2012. Hari jadi kami ke-7… jika dia masih hidup.
EPILOG
Aku
tersenyum puas kala lelaki itu menemukanku. Kakakku yang tersayang. Aku tahu
pasti dia bisa menemukanku dengan mudah di tempat ini. Pulau Lengkuas yang
menjadi tempat favoritnya dengan Kak Fina.
Aku punya permintaan, Nik. Ajak kakakmu setiap tanggal 13
Juni ke Pulau Lengkuas, ya? Aku ingin dia tahu, bahwa aku akan selalu hidup di
hatinya.
Itu
pesan terakhir Kak Fina sebelum akhirnya dia menutup mata untuk selamanya.
Tahun ketiga mulai terasa berat untuk mencari-cari alasan pergi ke tempat ini.
Alhasil, aku harus pura-pura marah dan kabur ke tempat ini, karena aku tahu Kak
Erik pasti akan menyusulku ke tempat ini. Aku menyukai sunrise sejak kepergian Kak Fina. Entahlah. Dia seperti meminjam
tubuhku untuk membangunkan Kak Erik setiap pagi. Saat pagi tiba, aku bukanlah
aku.
2 komentar:
it's WOW..!!
kereenn.. :)
Makasi :3
Posting Komentar