Sabtu, 09 April 2011

Dear My Admire Classmate

cerita : fiksi
soundtrack : Gita Gutawa ft. Maia - Mau tapi Malu
durasi : 10-20 menit
Happy reading!

Dear my admire classmate...
Tahukah kamu, bahwa aku selalu menantikan jam kuliah datang tiap harinya? Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak berminat dengan yang namanya weekend. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar weekend dapat cepat berlalu dan Senin datang lebih awal. Kenapa? Karena hari itulah yang mengawali pertemuanku denganmu untuk lima hari ke depan.
Tahukah kamu, bahwa aku selalu mencuri pandang ke arahmu, yang duduk di seberang sana, saat kuliah berlangsung? Kau membuatku sulit berkonsentrasi dengan celoteh dosen di depan, yang entah sedang menjelaskan rumus apa. Kau membuat pikiranku kosong, berbanding terbalik dengan kertas bukuku yang penuh dengan tinta hitam, menorehkan baris kata catatan dosen di papan tulis. Aku mencatat, namun tak satu pun kata di catatanku yang ku mengerti. Aku terlalu sibuk mengkhayalmu, bahkan terlalu sibuk untuk memandangmu dari sudut mataku. Ya, meskipun yang kutangkap hanyalah rambut ikalmu, itu sudah setara dengan vitamin penambah daya tahan tubuh untukku.
Tahukah kamu, bahwa lidahku kelu saat berpapasan denganmu? Aku tahu kau juga menatapku, namun aku malah memilih untuk diam, membuang begitu saja pandangan mataku darimu dan yang paling parah, membiarkanmu berlalu begitu saja di hadapanku. Aku ingin menyapamu, sungguh. Andai aku punya sedikit keberanian untuk menyapamu, memulai pembicaraan denganmu, atau bahkan hanya sekedar tersenyum padamu. Tentu cinta diam-diam ini tak perlu ada.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu tak datang di jam kuliah sore itu aku merasa kecewa? Aku mengenakan kemeja ungu favoritku, dengan corak bunga-bunga meriah, berharap kau akan sedikit lebih memperhatikanku. Aku menyemprot parfum favoritku sedikit berlebihan dari biasanya, berharap kau akan mencium wangiku dan menoleh ke arahku saat aku lewat di hadapmu. Tapi, aku sedikit kecewa saat yang kudapati hanyalah bangku kosong. Kau tak duduk di atasnya. Ada apa gerangan kau tak datang sore itu? Apakah kau sakit? Atau ada urusan lain yang tak bisa kau tinggal? Aku ingin sekali mengirimimu SMS, sekedar bertanya: mengapa tidak masuk?. Syukurlah aku masih waras, tidak cukup gila dan nekat untuk tiba-tiba menghubungimu. Yang ada nantinya mungkin kau akan menjauhiku karena bersikap sok dekat denganmu.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu tertawa bersama teman-temanmu, yang entah kalian menertawakan apa, tawamu merupakan angin segar untukku? Seperti sebuah oase di padang gurun, seperti setangkup air di kedua telapak tangan yang membasuh wajahku, begitu menyegarkan.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu maju ke depan kelas, mengerjakan soal yang ditulis dosen di papan tulis, aku kagum dengan kepintaranmu. Ah, andai kamu bisa memberikanku sedikit ilmumu. Pasti akan lebih menyenangkan menghabiskan waktu belajarku denganmu.
Dan tahukah kamu, bahwa aku sudah lelah dengan perasaan satu arah ini? Seperti sebuah panggilan telepon, yang hanya dijawab dengan nada sambung telepon yang membosankan. Tuuuuut... tuuuuut... tuuuuut... Ayolah, kapan kau akan menyadari panggilan ini dan mengangkat panggilanku?
Dear my admire classmate...
Kemarin, seperti biasa, aku meluangkan waktuku di kelas, di sela-sela mata kuliah yang membosankan, untuk mencuri pandang ke arahmu. Tapi, benarkah yang kulihat bahwa ku tak sengaja memergokimu melihatku? Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kau hanya menoleh ke arahku karena sedang melihat ke papan tulis. Tapi, papan tulis ada di depan, dan aku di seberangmu. Oke, apa kau benar-benar mencuri pandang kepadaku? Jujur, hal itu membuatku sedikit sulit tidur malam harinya. Karena hal itu benar-benar aneh.
Kukira memang kejadian kemarin hanyalah kebetulan belaka. Namun, yang namanya kebetulan pasti tak akan terjadi lagi bukan? Masalahnya adalah, aku memergokimu lagi tadi siang. Aku bersumpah demi apapun yang hidup di dunia ini, kau melihatku. Memang tidak lebih dari sedetik, tapi sangat terekam jelas di otakku. Mungkin kau meragukan kemampuan mengingatku, karena aku memang tak dapat mengingat kalimat yang diucapkan dosen, namun aku yakin 100% bahwa mataku masih normal. Jelaskan padaku, apakah kau benar-benar melihatku?
Dear my admire classmate...
Apakah itu matamu, yang juga balas menatapku? Meski hanya sepersekian detik, tapi jika boleh jujur, tatapanmu mampu menerjang dan menembus hingga relung jiwaku. Hatiku bagai tersengat listrik berkilo-kilo watt, membuatku hidup kembali.
Apakah kamu mulai merasakan apa yang kurasakan?
Apakah kamu mulai menjawab panggilan telepon ini?
Apakah nada sambung yang menjemukan itu akan segera berakhir dengan suaramu yang menjawab panggilan ini?
Dear my admire classmate...
Aku tahu bahwa tempo hari kau memang benar-benar melihatku, karena kau menyapaku pagi tadi! Apa aku perlu memeriksakan telingaku ke dokter THT? Ah, aku yakin syaraf telingaku masih normal. Ya, kau memanggilku tadi, dan tersenyum padaku. Senyumanmu melelehkan hatiku, melumpuhkan segala urat nadi dan syarafku. Tunggu, apakah senyumku membuatku tampak buruk? Apakah ada sisa-sisa makanan yang terselip di gigiku? Semoga saja tidak.
Dear my admire classmate...
Tak banyak yang kusampaikan di surat ini. Satu yang pasti untuk saat ini, kau begitu mempesonaku. Mungkin salah jika aku menjadikanmu alasan untuk semangat berangkat ke kampus. Tapi, itu lebih baik daripada tidak ada semangat sama sekali bukan?
Aku berharap, dari sapa dan senyummu tadi, hubungan kita menjadi lebih dekat. Well, setidaknya aku tidak lagi kikuk jika berada di dekatmu. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku. Kapan kau putus dengan pacarmu? Jika saat itu terjadi, kau tahu harus menghubungi siapa bukan?

Sabtu, 02 April 2011

Titik Kedua

Ingatkah kau kapan pertama kali kita bertemu? Mungkin kau tak ingat. Ya, tentu saja. Kau tak melihatku saat itu. Tapi aku melihatmu. Dan untuk sesaat, aku merasakan ada yang bergetar di hatiku. Ada sesuatu yang bergejolak, hanya sepersekian detik. Dan sepersekian detik itu, mengubah kehidupanku lima tahun selanjutnya.
Dan di sinilah aku, lima tahun telah berlalu, dan aku masih mengagumi, menyukai bahkan mencintaimu.
“Bagaimana bisa kamu mencintai Ferdi? Kamu bahkan tidak mengenalnya!”
“Apa? Ferdi? Yang jelek itu?”
“Ferdi yang mana sih? Oh, yang itu. Kok bisa sih?”
Dan berbagai tanggapan serupa yang terlontar dari mulut teman-temanku. Mengenalmu? Ya, menurutku aku mengenalmu. Aku hafal namamu, dimana kelasmu, nomor teleponmu, alamat rumahmu dan yang paling penting, aku hafal lekuk tubuhmu. Lututku dapat segera terasa lumpuh saat melihat siluetmu, yang aku yakin aku berada cukup jauh dari tempatmu berdiri.
Mungkin aku memang gila. Jatuh cinta kepada orang yang bahkan tidak kukenal dekat. Dan yang paling parah, mungkin kau tak mengenalku!
Jatuh cinta kepadamu ibarat aku sedang memakai kacamata kuda, yang tak menghiraukan apa dan bagaimana tanggapan orang tentangku. Yang aku tahu, aku kagum, suka dan cinta padamu. Titik. Tanpa koma.
Tapi tahukah kau apa yang selama ini menjadi doa dan harapanku? Aku mengharapkan ada titik kedua setelah kalimatku. Aku berharap, kau berkata padaku, “Begitu juga aku, yang selama ini kagum, suka dan cinta padamu,” Dan setelah itu akan aku cantumkan titik kedua. Tamat. Happy ending. Begitulah caraku membuat ending cerita cinta ini. Semoga saja.

Kalimat Sama Beda Wanita

HP-ku bergetar cukup lama. Tanpa membaca nama yang tampil di layar HP-ku, aku sudah bisa menebak siapa yang meneleponku berulang kali saat ini. Pacarku, Zen.
“Angkat aja, Mir. Aku gak papa kok,” ucap Putri, sahabatku.
Aku menggeleng. “Nanti saja, Mir. Lanjutkan saja ceritamu. Jadi, gimana kelanjutan hubunganmu dengan Yogi?”
Putri menghembuskan nafas, berat. “Semua sudah berakhir, Mir. Entahlah, lama-lama aku capek juga digantungin kayak gini,”
“Makanya cari baru aja,”
Putri tersenyum lebar. “Cariin dong,”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Memangnya aku biro jodoh?”
Kami tertawa.
Drrt. Drrt.
Kulihat HP-ku, bergetar lagi.
“Udah angkat aja, Mir. Kali aja ada hal penting yang mau dia omongin,”
Aku menggeleng. “Minta ditemenin setiap saat bukan hal penting kali, Put. Yang ada malah ngebetein. Dikira aku megang HP setiap saat?”
HP-ku masih bergetar. Kulihat Putri memberikan tanda untukku supaya mengangkat panggilan dari orang yang sama yang sedari tadi mencoba menghubungiku.
“Halo. Ada apa?” tanyaku, sedikit malas.
“Sayang, kamu lagi dimana? Aku sms gak dibales?”
Dahiku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Bukannya sudah kubilang aku sedang bersama Putri di Coffee Shop? Aku sedang membicarakan hal penting dengannya,”
“Tapi seenggaknya bales smsku, sayang. Aku butuh ditemenin malam ini,”
Malam ini? Setiap malam sih iya. “Sudah aku balas sekali bukan? Kamu kenapa sih? Nanti malam saja aku temenin kamu,”
“Okelah kalau kamu lebih mentingin sahabatmu,”
Dia memutus teleponnya.
“Kenapa, Mir?” tanya Putri, memandangku melalui mata sipitnya seraya meminum kopi pesanannya.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku. “Tidak apa-apa,”
Putri meletakkan cangkirnya dan kembali memandangku, lebih dalam. “Ayolah, sudah berapa lama sih aku jadi sahabatmu? Kamu gak bisa bohongin aku, Mir,”
Kali ini aku yang menghembuskan nafas berat. “Dia posesif. Dia selalu ingin diperhatikan. Ya, memang sih itu tugasnya pacar. Tapi, apa harus setiap saat? Ada waktu dimana aku ingin sendiri, meluangkan waktu dengan sahabatku tanpa harus dia ganggu bukan?”
“Kamu coba beri dia pengertian, Mir,”
Aku menggelengkan kepalaku. “Sia-sia. Setiap aku memberi saran padanya, dia selalu menolak saranku,”
Hening. Aku larut dalam pikiranku. Seperti sebuah film pendek yang diputar mundur, aku mengingat semua kenanganku dengan Zen. Ada beberapa yang bahagia, membuatku hampir percaya bahwa cinta sejati itu memang benar-benar ada. Namun, tak sedikit pula yang membuatku frustasi melihat tingkahnya yang terlalu posesif dan protektif. Seharusnya aku senang bila pasanganku takut kehilanganku dan berusaha menjagaku. Tapi seperti ada sebuah terali besi yang mengurungku, menghambat semua aktivitasku. Aku tak bisa mengekspresikan diriku sebebas yang aku mau.
“Aku akan putusin dia, Put,”
Putri sedikit terbelalak matanya. “Yakin? Sudah dipikirin matang-matang?”
Aku mengangguk. “Sangat matang,”


Aku terbangun pagi ini dengan semangat baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tak pernah aku merasa sebahagia ini. Hubunganku dengan Zen telah berakhir. Masih terekam jelas di benakku bagaimana dia menolak untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Namun, akhirnya dia menyerah setelah aku bersikukuh ingin tetap putus dengannya.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan membuka gorden kamar. Segera sinat matahari menembus masuk melalui jendela kamarku yang kini terbuka lebar. Ah, betapa hangatnya hari baru ini.
Aku hendak masuk ke dalam kamar mandiku, ketika kulihat sebuah boneka teddy bear di pojokan meja belajarku. Hadiah dari Zen. Mmh, sepertinya hari ini aku harus menyingkirkan semua benda pemberiannya. Bukan membuangnya, hanya menyimpannya di tempat yang jarang aku lihat.
Meskipun perpisahan ini adalah keinginanku, bukan berarti aku tidak tersakiti. Aku masih punya hati, setidaknya. Dan hati ini masih terasa sakit setiap mengingat bahwa hubunganku dengannya telah berakhir.
Aku kira rasa sakit ini akan hilang dalam hitungan hari, namun dua minggu selanjutnya, luka hati ini belum sembuh sepenuhnya. Untunglah ada Putri dan sahabat-sahabatku lainnya yang setia menemaniku setiap aku ingin jalan-jalan keluar, entah itu hanya nongkrong di cafe dekat rumah, atau melakukan rutinitas wanita kebanyakan, window shoping.
“Put, kebiasaan deh selesai main facebook gak di-log out,”
Putri yang tengah berbaring di tempat tidurku hanya tersenyum lebar.
Saat kursor panah kuarahkan ke pojok kanan atas layar, aku menemukan akun Zen di halaman utama Putri. Dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang, kubuka profilnya. Tampak fotonya yang tengah berpose bersama teman-teman kuliahnya. Aku tersenyum melihatnya. Lalu kubaca satu persatu status miliknya, dan aku menangkap akun seorang perempuan yang rajin mengomentari status Zen. Dari balas-balasan komentar itu, tampaknya mereka sedang dekat saat ini.
Kamu bikin gemes deh. Eh, jangan nyanyi, tuh makin hujan kan?
Nafasku tertahan sejenak saat membaca komentar dari Zen untuk perempuan itu. Kalimat yang sama, yang pernah dia ucapkan padaku, dulu. Lukaku kembali menguak, menganga lebih lebar dari sebelumnya. Entah aku yang gila atau memang seperti ini rasanya saat melihat mantan kekasihmu telah berhubungan dekat dengan wanita lain dalam waktu singkat.
Aku mengulang membaca komentarnya beberapa kali. Dulu, dia meyakinkanku bahwa dia akan tetap mencintaiku hingga akhir hayatnya. Bodoh, hampir aku tertipu olehnya. Ternyata dia sama saja dengan lelaki lain. Semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka hanyalah gombalan semata, demi menarik simpati dari perempuan yang tengah diincarnya.
Aku bangkit dan meraih sebuah kardus berisi boneka dan barang-barang pemberiannya yang lain.
“Mau kamu apakan kardus itu, Mir?” tanya Putri saat dia melihat aktivitasku ini dari sudut matanya.
“Buang,” jawabku seraya tersenyum penuh makna padanya. Mungkin terkesan aku tidak menghargai barang-barang pemberiannya, namun aku tak bisa melanjutkan hidupku jika masih terbayang-bayang semua hal yang berhubungan dengannya. Jika Zen bisa memulai hidup barunya secepat ini, mengapa aku tidak?

Meski Bukan Untukku, Maukah Kau Kembali?

Cerita : Fiksi
Soundtrack : Kelly Clarkson - Because Of You
Durasi : 5-10 menit

Enjoy!

Rumah ini begitu kecil, namun segalanya teratur dengan apik, minimalis. Kala hujan turun, aku, kakak, ayah dan ibu kerap menghabiskan waktu bersama dengan menonton acara televisi yang menurutku sangat membosankan. Namun kebosananku sirna akan kehangatan yang terpancar dari kami, duduk berempat di sofa empuk berwarna kecoklatan, menyelonjorkan kaki, berbagi selimut yang sama, jajanan yang sama dan yang paling kusuka, gelak tawa yang sama.

Ya, rumah kecil yang hangat, siapa yang tak suka itu?

Namun kini yang kurasakan hanya dingin yang menggerogoti tubuh, perlahan membunuhku, mengambil jiwaku. Hangat itu telah hilang, tersingkirkan kekuatan dingin yang angkuh. Kucoba menghidupkan kembali hangat itu, namun nihil. Kucoba mencari sisa-sisa kehangatan yang tersisa, berharap dapat menumbuhkan kembali hangat itu, namun hingga ke sudut ruangan pun hangat itu tak dapat kutemukan.

Hangat itu hilang, semenjak ayah pergi. Ayah? Apa masih pantas aku memanggilnya ‘ayah’? Apa pantas orang yang pergi begitu saja, dengan wanita jalang tak tahu diri, tanpa mempedulikan anak-anak dan istrinya, kupanggil ‘ayah’? Lidahku kelu, seakan mendadak lupa bagaimana melafalkan sebutan itu.

Ah, ingin aku berteriak pada semua orang, bahwa aku membencinya. Aku tak peduli bila tanpa dia aku tak akan hadir di dunia ini, sungguh aku tak peduli. Untuk apa? Toh dia juga tidak mempedulikan anak, bahkan istrinya bukan? Dia tak peduli betapa hancurnya hati kami, betapa hancurnya hati ibu.

Rumah ini masih kecil, masih tertata tapi dan masih minimalis. Tapi tak ada hangat lagi seperti dulu. Pelukanku, kakak dan ibu tak cukup membuat rumah ini hangat. Aku benci mengakui ini, namun ada sesuatu yang hilang. Aku rindu kehangatan yang dulu bersinar dan terpancar di rumah ini. Aku kehilangan momen-momen indah itu.

Aku ingin dia, yang panggilannya tak bisa kulafalkan, kembali. Bukan untukku, bukan untuk kakakku, tapi untuk ibu. Aku mungkin hanya kehilangan suatu momen, tapi ibu kehilangan separuh jiwanya. Ibu telah memberikan seluruh cinta dan kasih sayang pada lelaki yang dulu bersedia menjadi imamnya, namun kini berubah menjadi lelaki tak bertanggung jawab. Tak kutemukan lagi kehidupan di kedua mata ibu kala aku memandangnya. Nanar, penuh luka, penuh derita. Aku ingin menghidupkan kembali kehangatan pancaran mata ibu. Dan demi ibu, aku ingin dia kembali.