HP-ku bergetar cukup lama. Tanpa membaca nama yang tampil di layar HP-ku, aku sudah bisa menebak siapa yang meneleponku berulang kali saat ini. Pacarku, Zen.
“Angkat aja, Mir. Aku gak papa kok,” ucap Putri, sahabatku.
Aku menggeleng. “Nanti saja, Mir. Lanjutkan saja ceritamu. Jadi, gimana kelanjutan hubunganmu dengan Yogi?”
Putri menghembuskan nafas, berat. “Semua sudah berakhir, Mir. Entahlah, lama-lama aku capek juga digantungin kayak gini,”
“Makanya cari baru aja,”
Putri tersenyum lebar. “Cariin dong,”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Memangnya aku biro jodoh?”
Kami tertawa.
Drrt. Drrt.
Kulihat HP-ku, bergetar lagi.
“Udah angkat aja, Mir. Kali aja ada hal penting yang mau dia omongin,”
Aku menggeleng. “Minta ditemenin setiap saat bukan hal penting kali, Put. Yang ada malah ngebetein. Dikira aku megang HP setiap saat?”
HP-ku masih bergetar. Kulihat Putri memberikan tanda untukku supaya mengangkat panggilan dari orang yang sama yang sedari tadi mencoba menghubungiku.
“Halo. Ada apa?” tanyaku, sedikit malas.
“Sayang, kamu lagi dimana? Aku sms gak dibales?”
Dahiku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Bukannya sudah kubilang aku sedang bersama Putri di Coffee Shop? Aku sedang membicarakan hal penting dengannya,”
“Tapi seenggaknya bales smsku, sayang. Aku butuh ditemenin malam ini,”
Malam ini? Setiap malam sih iya. “Sudah aku balas sekali bukan? Kamu kenapa sih? Nanti malam saja aku temenin kamu,”
“Okelah kalau kamu lebih mentingin sahabatmu,”
Dia memutus teleponnya.
“Kenapa, Mir?” tanya Putri, memandangku melalui mata sipitnya seraya meminum kopi pesanannya.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku. “Tidak apa-apa,”
Putri meletakkan cangkirnya dan kembali memandangku, lebih dalam. “Ayolah, sudah berapa lama sih aku jadi sahabatmu? Kamu gak bisa bohongin aku, Mir,”
Kali ini aku yang menghembuskan nafas berat. “Dia posesif. Dia selalu ingin diperhatikan. Ya, memang sih itu tugasnya pacar. Tapi, apa harus setiap saat? Ada waktu dimana aku ingin sendiri, meluangkan waktu dengan sahabatku tanpa harus dia ganggu bukan?”
“Kamu coba beri dia pengertian, Mir,”
Aku menggelengkan kepalaku. “Sia-sia. Setiap aku memberi saran padanya, dia selalu menolak saranku,”
Hening. Aku larut dalam pikiranku. Seperti sebuah film pendek yang diputar mundur, aku mengingat semua kenanganku dengan Zen. Ada beberapa yang bahagia, membuatku hampir percaya bahwa cinta sejati itu memang benar-benar ada. Namun, tak sedikit pula yang membuatku frustasi melihat tingkahnya yang terlalu posesif dan protektif. Seharusnya aku senang bila pasanganku takut kehilanganku dan berusaha menjagaku. Tapi seperti ada sebuah terali besi yang mengurungku, menghambat semua aktivitasku. Aku tak bisa mengekspresikan diriku sebebas yang aku mau.
“Aku akan putusin dia, Put,”
Putri sedikit terbelalak matanya. “Yakin? Sudah dipikirin matang-matang?”
Aku mengangguk. “Sangat matang,”
Aku terbangun pagi ini dengan semangat baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tak pernah aku merasa sebahagia ini. Hubunganku dengan Zen telah berakhir. Masih terekam jelas di benakku bagaimana dia menolak untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Namun, akhirnya dia menyerah setelah aku bersikukuh ingin tetap putus dengannya.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan membuka gorden kamar. Segera sinat matahari menembus masuk melalui jendela kamarku yang kini terbuka lebar. Ah, betapa hangatnya hari baru ini.
Aku hendak masuk ke dalam kamar mandiku, ketika kulihat sebuah boneka teddy bear di pojokan meja belajarku. Hadiah dari Zen. Mmh, sepertinya hari ini aku harus menyingkirkan semua benda pemberiannya. Bukan membuangnya, hanya menyimpannya di tempat yang jarang aku lihat.
Meskipun perpisahan ini adalah keinginanku, bukan berarti aku tidak tersakiti. Aku masih punya hati, setidaknya. Dan hati ini masih terasa sakit setiap mengingat bahwa hubunganku dengannya telah berakhir.
Aku kira rasa sakit ini akan hilang dalam hitungan hari, namun dua minggu selanjutnya, luka hati ini belum sembuh sepenuhnya. Untunglah ada Putri dan sahabat-sahabatku lainnya yang setia menemaniku setiap aku ingin jalan-jalan keluar, entah itu hanya nongkrong di cafe dekat rumah, atau melakukan rutinitas wanita kebanyakan, window shoping.
“Put, kebiasaan deh selesai main facebook gak di-log out,”
Putri yang tengah berbaring di tempat tidurku hanya tersenyum lebar.
Saat kursor panah kuarahkan ke pojok kanan atas layar, aku menemukan akun Zen di halaman utama Putri. Dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang, kubuka profilnya. Tampak fotonya yang tengah berpose bersama teman-teman kuliahnya. Aku tersenyum melihatnya. Lalu kubaca satu persatu status miliknya, dan aku menangkap akun seorang perempuan yang rajin mengomentari status Zen. Dari balas-balasan komentar itu, tampaknya mereka sedang dekat saat ini.
Kamu bikin gemes deh. Eh, jangan nyanyi, tuh makin hujan kan?
Nafasku tertahan sejenak saat membaca komentar dari Zen untuk perempuan itu. Kalimat yang sama, yang pernah dia ucapkan padaku, dulu. Lukaku kembali menguak, menganga lebih lebar dari sebelumnya. Entah aku yang gila atau memang seperti ini rasanya saat melihat mantan kekasihmu telah berhubungan dekat dengan wanita lain dalam waktu singkat.
Aku mengulang membaca komentarnya beberapa kali. Dulu, dia meyakinkanku bahwa dia akan tetap mencintaiku hingga akhir hayatnya. Bodoh, hampir aku tertipu olehnya. Ternyata dia sama saja dengan lelaki lain. Semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka hanyalah gombalan semata, demi menarik simpati dari perempuan yang tengah diincarnya.
Aku bangkit dan meraih sebuah kardus berisi boneka dan barang-barang pemberiannya yang lain.
“Mau kamu apakan kardus itu, Mir?” tanya Putri saat dia melihat aktivitasku ini dari sudut matanya.
“Buang,” jawabku seraya tersenyum penuh makna padanya. Mungkin terkesan aku tidak menghargai barang-barang pemberiannya, namun aku tak bisa melanjutkan hidupku jika masih terbayang-bayang semua hal yang berhubungan dengannya. Jika Zen bisa memulai hidup barunya secepat ini, mengapa aku tidak?
“Angkat aja, Mir. Aku gak papa kok,” ucap Putri, sahabatku.
Aku menggeleng. “Nanti saja, Mir. Lanjutkan saja ceritamu. Jadi, gimana kelanjutan hubunganmu dengan Yogi?”
Putri menghembuskan nafas, berat. “Semua sudah berakhir, Mir. Entahlah, lama-lama aku capek juga digantungin kayak gini,”
“Makanya cari baru aja,”
Putri tersenyum lebar. “Cariin dong,”
Aku mengangkat sebelah alisku. “Memangnya aku biro jodoh?”
Kami tertawa.
Drrt. Drrt.
Kulihat HP-ku, bergetar lagi.
“Udah angkat aja, Mir. Kali aja ada hal penting yang mau dia omongin,”
Aku menggeleng. “Minta ditemenin setiap saat bukan hal penting kali, Put. Yang ada malah ngebetein. Dikira aku megang HP setiap saat?”
HP-ku masih bergetar. Kulihat Putri memberikan tanda untukku supaya mengangkat panggilan dari orang yang sama yang sedari tadi mencoba menghubungiku.
“Halo. Ada apa?” tanyaku, sedikit malas.
“Sayang, kamu lagi dimana? Aku sms gak dibales?”
Dahiku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Bukannya sudah kubilang aku sedang bersama Putri di Coffee Shop? Aku sedang membicarakan hal penting dengannya,”
“Tapi seenggaknya bales smsku, sayang. Aku butuh ditemenin malam ini,”
Malam ini? Setiap malam sih iya. “Sudah aku balas sekali bukan? Kamu kenapa sih? Nanti malam saja aku temenin kamu,”
“Okelah kalau kamu lebih mentingin sahabatmu,”
Dia memutus teleponnya.
“Kenapa, Mir?” tanya Putri, memandangku melalui mata sipitnya seraya meminum kopi pesanannya.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepalaku. “Tidak apa-apa,”
Putri meletakkan cangkirnya dan kembali memandangku, lebih dalam. “Ayolah, sudah berapa lama sih aku jadi sahabatmu? Kamu gak bisa bohongin aku, Mir,”
Kali ini aku yang menghembuskan nafas berat. “Dia posesif. Dia selalu ingin diperhatikan. Ya, memang sih itu tugasnya pacar. Tapi, apa harus setiap saat? Ada waktu dimana aku ingin sendiri, meluangkan waktu dengan sahabatku tanpa harus dia ganggu bukan?”
“Kamu coba beri dia pengertian, Mir,”
Aku menggelengkan kepalaku. “Sia-sia. Setiap aku memberi saran padanya, dia selalu menolak saranku,”
Hening. Aku larut dalam pikiranku. Seperti sebuah film pendek yang diputar mundur, aku mengingat semua kenanganku dengan Zen. Ada beberapa yang bahagia, membuatku hampir percaya bahwa cinta sejati itu memang benar-benar ada. Namun, tak sedikit pula yang membuatku frustasi melihat tingkahnya yang terlalu posesif dan protektif. Seharusnya aku senang bila pasanganku takut kehilanganku dan berusaha menjagaku. Tapi seperti ada sebuah terali besi yang mengurungku, menghambat semua aktivitasku. Aku tak bisa mengekspresikan diriku sebebas yang aku mau.
“Aku akan putusin dia, Put,”
Putri sedikit terbelalak matanya. “Yakin? Sudah dipikirin matang-matang?”
Aku mengangguk. “Sangat matang,”
Aku terbangun pagi ini dengan semangat baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tak pernah aku merasa sebahagia ini. Hubunganku dengan Zen telah berakhir. Masih terekam jelas di benakku bagaimana dia menolak untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Namun, akhirnya dia menyerah setelah aku bersikukuh ingin tetap putus dengannya.
Aku bangkit dari tempat tidurku dan membuka gorden kamar. Segera sinat matahari menembus masuk melalui jendela kamarku yang kini terbuka lebar. Ah, betapa hangatnya hari baru ini.
Aku hendak masuk ke dalam kamar mandiku, ketika kulihat sebuah boneka teddy bear di pojokan meja belajarku. Hadiah dari Zen. Mmh, sepertinya hari ini aku harus menyingkirkan semua benda pemberiannya. Bukan membuangnya, hanya menyimpannya di tempat yang jarang aku lihat.
Meskipun perpisahan ini adalah keinginanku, bukan berarti aku tidak tersakiti. Aku masih punya hati, setidaknya. Dan hati ini masih terasa sakit setiap mengingat bahwa hubunganku dengannya telah berakhir.
Aku kira rasa sakit ini akan hilang dalam hitungan hari, namun dua minggu selanjutnya, luka hati ini belum sembuh sepenuhnya. Untunglah ada Putri dan sahabat-sahabatku lainnya yang setia menemaniku setiap aku ingin jalan-jalan keluar, entah itu hanya nongkrong di cafe dekat rumah, atau melakukan rutinitas wanita kebanyakan, window shoping.
“Put, kebiasaan deh selesai main facebook gak di-log out,”
Putri yang tengah berbaring di tempat tidurku hanya tersenyum lebar.
Saat kursor panah kuarahkan ke pojok kanan atas layar, aku menemukan akun Zen di halaman utama Putri. Dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang, kubuka profilnya. Tampak fotonya yang tengah berpose bersama teman-teman kuliahnya. Aku tersenyum melihatnya. Lalu kubaca satu persatu status miliknya, dan aku menangkap akun seorang perempuan yang rajin mengomentari status Zen. Dari balas-balasan komentar itu, tampaknya mereka sedang dekat saat ini.
Kamu bikin gemes deh. Eh, jangan nyanyi, tuh makin hujan kan?
Nafasku tertahan sejenak saat membaca komentar dari Zen untuk perempuan itu. Kalimat yang sama, yang pernah dia ucapkan padaku, dulu. Lukaku kembali menguak, menganga lebih lebar dari sebelumnya. Entah aku yang gila atau memang seperti ini rasanya saat melihat mantan kekasihmu telah berhubungan dekat dengan wanita lain dalam waktu singkat.
Aku mengulang membaca komentarnya beberapa kali. Dulu, dia meyakinkanku bahwa dia akan tetap mencintaiku hingga akhir hayatnya. Bodoh, hampir aku tertipu olehnya. Ternyata dia sama saja dengan lelaki lain. Semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka hanyalah gombalan semata, demi menarik simpati dari perempuan yang tengah diincarnya.
Aku bangkit dan meraih sebuah kardus berisi boneka dan barang-barang pemberiannya yang lain.
“Mau kamu apakan kardus itu, Mir?” tanya Putri saat dia melihat aktivitasku ini dari sudut matanya.
“Buang,” jawabku seraya tersenyum penuh makna padanya. Mungkin terkesan aku tidak menghargai barang-barang pemberiannya, namun aku tak bisa melanjutkan hidupku jika masih terbayang-bayang semua hal yang berhubungan dengannya. Jika Zen bisa memulai hidup barunya secepat ini, mengapa aku tidak?
0 komentar:
Posting Komentar