Sabtu, 12 Oktober 2013

Seharusnya

Seharusnya.
Seharusnya, jika belum siap, kamu jangan memberi harapan.
Seharusnya, jika belum siap, kamu jangan memberi janji.
Seharusnya, jika belum siap, kamu jangan menyilakanku masuk.
Seharusnya, jika belum siap, kamu jangan melangkah mendekatiku.

Kini.
Kini aku yang melangkah pergi, karena tak ada yang membuatku bertahan.
Kini kamu yang turut melangkah pergi, karena enggan membuatku bertahan.
Kini yang tersisa hanyalah tatapan, tanpa sebuah sapaan.
Kini aku yang terluka, membuatku mengunci rapat pintu hati entah sampai kapan.


Jumat, 10 Mei 2013

School 2013 [Third Grade] #FanFiction #1

Episode 1.



Guru Jung menyuruhku masuk ke dalam kelas 3-2, kelas baruku untuk satu tahun ke depan.

"Selamat pagi. Aku Baek Eun-So."

Kuperkenalkan diriku di depan kelas. Kulihat hanya beberapa anak yang memperhatikanku. Sisanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa siswa perempuan di hadapanku hanya sekian detik memperhatikanku, lalu kembali fokus pada lembar-lembar latihan soal yang dibawanya. Agak ke belakang, sekumpulan siswa laki-laki menatapku dengan genit lalu sibuk mengobrol kembali. Di sisi kiri, sekitar 4 orang siswa perempuan sibuk berkaca di cermin kecil yang mereka bawa, memperbaiki posisi pita rambut dan bandonya masing-masing. Di sisi kananku, beberapa anak yang memang memperhatikanku. Ada satu laki-laki yang terlihat begitu menonjol di grup ini. Dia tinggi, tapi bukan itu yang membuatnya menonjol. Dia memperhatikanku, tapi tatapannya seolah tak berisi apa-apa. Kosong.

"Baiklah. Baek Eun-So, kamu duduk di depan Go Nam-Soon. Ketua kelas 3-2."

Aku mengangguk. Lalu berjalan menuju tempat yang ditunjuk oleh Guru Jung.

"Karena ini adalah pertemuan pertama pada tahun ini, seperti biasa, kita akan menunjuk ketua kelas baru. Atau kalian ingin Go Nam-Soon tetap menjadi ketua kelas?"

"Iya, Bu! Tetap saja!"
"Ganti, Ganti! Bosan liat mukanya!"
"Hyungnim, Hyungnim! Aku mencalonkan Hyungnim!"

Aku merasakan telingaku seakan bisa meledak karena teriakan-teriakan anak-anak di kelas ini.

Guru Jung memukul mejanya, memberi tanda anak-anak untuk diam.

"Satu-satu jika kalian ingin bicara."

Seorang siswa perempuan mengacungkan tangannya.

"Ya, Lee Kang-Joo?"

"Aku tetap mencalonkan Go Nam-Soon," ucapnya seraya tersenyum lebar ke arah Go Nam-Soon. Segera saja Go Nam-Soon menatapnya kesal.

"Kim Min-Ki!"
"Park Heung-Soo Hyungnim!"
"Baek Eun-So!"

Seseorang menyebutkan namaku, dan semua mata di kelas ini tertuju kepadaku.

"Kenapa aku?" tanyaku.
"Karena kamu siswa baru. Setidaknya kamu belum terkontaminasi segala intrik yang terjadi di kelas ini," ucap perempuan yang duduk di depan Lee Kang-Joo, yang mencalonkanku.

"Baiklah kalau begitu. Bagi namanya yang disebutkan tadi, harap maju ke depan kelas. Dan kurasa, ide dari Song Ha-Kyung sangat bagus. Kita perlu wajah baru yang memimpin kita bukan?" ucap Guru Kang, yang sedari tadi hanya diam tersenyum mengamati tingkah laku siswanya.

Vote pun dilakukan dengan mengumpulkan kertas-kertas berisi nama yang dipilih. Kuharap namaku tidak akan ditulis dalam kertas-kertas itu.

"Wah, hasilnya sungguh sangat mengejutkan. Di luar dugaan," ucap Guru Jung. "Ketua kelas dan wakil ketua kelas untuk satu tahun ke depan adalah Park Heung-Soo dan Baek Eun-So."

Kelas menjadi ramai saat mendengar pengumuman Guru Jung. Terkutuk bagi mereka yang memilihku. Aku melihat Park Heung-Soo yang juga sedang melihatku. Meski kami belum berkenalan secara resmi, tapi dari aku mampu menangkap kata-kata yang keluar dari sorot matanya. Matilah kita.


***

"Pagi! Saya guru matematika kalian yang baru, menggantikan Guru Eom Dae-Woong. Saya Han Young-Gi."

Jari-jariku berhenti di layar hpku. Han Young-Gi? Dan ya, memang benar, dia yang berdiri di depan sana. Hatiku terasa sakit saat melihatnya. Bagaimana bisa dia tiba-tiba muncul di hadapanku begini? Dia melihatku, lalu tersenyum.

"Baiklah. Pertemuan pagi ini akan saya awali dengan memberikan contoh soal-soal yang ada di perguruan tinggi. Bukan maksud saya untuk menyimpang dari pembelajaran di SMA, tapi setidaknya ini akan memberikan kalian gambaran seperti apa yang akan kalian hadapi nanti."

Kupasang headset-ku. Mendengar suaranya saja aku sudah cukup muak. Kuposisikan tubuhku untuk tidur. Sekitar beberapa menit kemudian, sebuah tangan menjawil bahuku. Go Nam-Soon.

"Apa?"

Go Nam-Soon menunjuk ke depan dengan dagunya.

"Baek Eun-So. Ini baru pertemuan pertama dan kau sudah tidur. Coba kerjakan soal ini." Han Young-Gi menunjuk soal yang tadi dia tulis.

Aku menggeleng.

"Aku tidak bisa."
"Kau pasti bisa. Sekalipun kau salah, tidak akan kumarahi."
"Aku bilang aku tidak bisa."
"Kerjakan ini, Baek Eun-So."

Dia menatapku tajam. Anak-anak lain mulai memperhatikanku, bertanya-tanya mengapa aku menolak perintah guru mereka. Ah, baiklah. Daripada mereka membuat gosip nantinya. Aku berdiri dan melangkah ke depan.

"Jika aku bisa mengerjakan ini, anda tidak bisa memaksaku lagi untuk melakukan sesuatu yang lain. Apapun itu."

"Apa yang membuatmu pantas mengajukan syarat itu?" tanyanya sambil tetap tersenyum.

"Ini soal untuk mahasiswa. Dan aku berani bertaruh, tidak akan ada satu orang pun di kelas ini yang mampu mengerjakannya."

Kulihat beberapa anak mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baiklah, setuju. Berarti kamu juga tidak bisa mengerjakannya?"

Aku tersenyum.

"Aku belum selesai berbicara, Guru Han. Kecuali aku," lanjutku seraya meraih kapur tulis berwarna putih yang ada di dekatku.

Aish, soal ini? Sambil memejamkan mata pun aku bisa menyelesaikannya.

"Selesai."

Han Young-Gi menatapku tak percaya.

"Apakah jawabannya benar, Guru Han?" tanya Song Ha-Kyung.

"Be..benar."

Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Tepati janjimu, Guru Han."

Aku melangkah kembali ke bangkuku.

"Baek Eun-So. Bagaimana bisa kamu mengerjakannya?"

Aku menoleh.

"Aku pernah membacanya di toko buku beberapa waktu lalu."

Senyum Han Young-Gi memudar. Aku tertawa dalam hati.

"Wah, dia pintar sekali. Hanya membacanya saja dan dia sudah bisa mengingatnya sampai sekarang? Dia jenius!"

Aku hanya bisa tersenyum saat mendengar perkataan Byun Ki-Deok. Tak sengaja aku menoleh ke arah Park Heung-Soo, padahal niatku aku ingin melihat anak-anak lain. Dia menatapku. Tidak ada keterkejutan di situ. Kosong. Sama seperti pagi tadi saat dia pertama kali aku menginjakkan kaki di kelas ini. Dan bodohnya, aku jadi gugup sendiri melihatnya.

***

Setengah jam berlalu dan aku mulai bosan dengan playlist di hpku. Perutku langsung mual saat melepas headset dan mendengar suara Han Young-Gi di depan. Kucoba membunuh kebosananku dengan mengamati anak-anak di kelas ini. Seperti yang kuduga, hanya beberapa anak yang fokus dengan apa yang diajarkan Han Young-Gi di depan.

Park Heung-Soo.
Entahlah, aku masih belum bisa mendefinisikan dia masuk ke kelompok yang mana. Dia memperhatikan ke depan, membuka bukunya. Tapi dia tidak mencatat apapun. Saat pagi tadi di ruang guru, aku tidak melihat namanya di deretan teratas siswa terpintar di kelas ini. Aku tidak sengaja melihatnya di catatan Guru Jung. Lalu mengapa dia membuang waktunya memperhatikan omongan guru di depan? Mengapa dia tidak tidur seperti Go Nam-Soon, Byun Ki-Deok, Kye Na-Ri, dan lainnya?

Aku mengeluarkan buku tulisku dan berusaha mencatat omongan Han Young-Gi di depan. Setidaknya dengan begini waktu akan terasa berjalan cepat.

***

"Park Heung-Soo!" panggilku saat dia hendak membuka pagar rumahnya.

Dia menoleh ke arahku, menatapku heran.

"Oh, jadi ini rumahmu? Apartemenku tidak jauh dari sini, hanya selisih 3 blok saja," ucapku seraya menunjuk ke jalanan di depan kami.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu mengikutiku?"

Aku mengangguk.

"Aku tidak mau menyerahkan ini di kelas karena anak-anak pasti akan memunculkan gosip yang tidak-tidak. Jadi aku mengikutimu, menunggumu berpisah dari Go Nam-Soon," jawabku.

"Menyerahkan apa?"

"Ini."

Aku menyodorkan buku catatanku.

"Apa ini?"

"Catatan pelajaran hari ini. Buat kamu."

"Aku tidak butuh."

Dia menyerahkan kembali bukuku, tapi aku mendorongnya kembali ke arahnya.

"Aku sudah susah payah mencatat ini buatmu dan kamu menolaknya?" Aku berdecak. "Kamu keterlaluan."

"Aku tidak menyuruhmu untuk melakukannya."

"Terima saja. Kamu tidak merugi apapun dengan menerima bukuku ini bukan? Sebenarnya aku cukup pintar mencerna apa yang dijelaskan guru, aku tidak perlu mencatat. Tapi aku jadi bosan jika tidak melakukan apapun. Dan kulihat kamu malah tidak mencatat apapun padahal pandanganmu lurus ke depan kelas. Jadi aku mencatat, dan memberikan ini padamu. Aku tidak rugi apapun, karena aku bisa membunuh waktuku di kelas," jelasku panjang lebar.

"Sudahlah, aku tidak perlu."

Heung-Soo menyerahkan kembali bukuku ke tanganku.

"Ya Park Heung Soo! Mengapa pikiranmu sempit sekali? Kamu tidak ingin lulus dengan nilai bagus? Setidaknya jika kamu tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan memilih bekerja, kamu tidak akan diinjak-injak jika nilaimu bagus."

Heung-Soo menutup kembali pintunya yang baru setengah dia buka. Dia menatapku, lalu menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Apa pedulimu?"

Aku mengangkat bahuku.

"Entahlah, aku juga tidak tahu mengapa aku peduli denganmu. Mungkin karna hutang-budiku ke kamu. Kamu ingat saat beberapa waktu lalu kamu membantu memindahkan barang-barang? Itu barang-barangku. Dan kata Paman Kim, kamu pulang lebih dulu tanpa sempat aku mengucap terima kasih."

Heung-Soo diam.

"Jadi anggaplah buku ini adalah ucapan terima kasihku padamu. Aku akan memberikan catatanmu selama setahun ke depan."

Aku tersenyum.

"Sampai ketemu besok di sekolah, ketua kelas! Fighting!"

Senyumku perlahan memudar seiring langkahku menjauh dari Park Heung-Soo. Apa yang baru saja kulakukan?


-to be continue-




nb: ini fanfiction pertamaku. entah kenapa mendadak punya ide nambahin cerita waktu mereka di kelas 3 SMA. :)

Kamis, 24 Januari 2013

Cerita Kita (?)

Rendy is now in a relationship with Diandra.

Sebuah kalimat singkat itu dalam sekejap mampu membuatku terpaku di depan laptopku. Unbelievable. Is it true? Or have I imagine something not real here?

Ingatanku membawaku kembali ke masa itu. Masa dimana hanya ada namamu di otakku.


***


"Segera setelah semua urusan di sini selesai, aku akan kembali. Kembali untukmu. Untuk kita," ucapmu di telepon.

Aku tersenyum ke langit sore di hadapan beranda kamarku.

"Untukku? Untuk kita? Memangnya cerita kita sudah dimulai?" tanyaku, memancingmu.

"Hahaha. Inginku seperti itu. Tapi bagaimana lagi. Kau mana mau melakukan ritual itu via telepon begini?" Kamu berkata seperti itu.

"Aku ingin menatap matamu. Kamu pernah dengar kan kalau mata tidak bisa berbohong?"

"Jadi kamu tidak percaya aku mencintaimu?"

Aku tersenyum.

"Aku percaya."

"Maka tunggulah aku."

"Selalu."


***

Rendy is now in a relationship with Diandra.
Rendy is now single.
Diandra is now single. 

"Diandra?"

Suara kakakku terdengar di belakangku.

"Ayo, pemakamannya mau dimulai."

Aku menangis, entah untuk berapa kali dalam dua hari ini.

Menangisimu.

Your love is a lie, sayang.

Katamu kamu akan kembali untukku.

Katamu kamu kembali untuk memulai cerita kita.

Kamu berbohong, sayang.

Kamu tidak pernah kembali.

Lalu, harus dengan siapa aku memulai cerita ini?

Andai memulai cerita kita semudah membuka facebook-mu dan facebook-ku di saat yang bersamaan, lalu saling mengirim permintaan hubungan. Ya, aku se-pathetic itu memang.

Dia

Tepat setelah aku memutuskan untuk menutup pintu hatiku, dia datang.
Mataku tak sedikitpun berpaling dari dirinya.
Pesonanya terlalu kuat untuk kuingkari.
Dia pun akhirnya berjalan, menujuku.
Tersenyum kepada banyak orang di sekitarku.
Aku menunggu senyumnya untukku, tapi dia berlalu begitu saja, hingga yang dapat mengobati kekecewaanku hanyalah punggungnya, yang lambat laun menghilang di belokan jalan ini.

Kemudian kami bertemu lagi.
Di satu waktu yang telah Tuhan persiapkan.
Kini kami duduk berhadapan, saling bertukar cerita, saling bertukar tawa dan canda.
Dua gelas esteh dan dua piring nasi goreng menjadi saksi perbincangan pertama kami.

Saat dia bertanya, "Kita pernah satu ruang saat seminar beberapa bulan lalu, bukan? Kau ingat?"
Aku menggeleng dan tersenyum.
Kemudian dia berkata, "Wah, sulit ternyata untuk menarik perhatianmu."
Aku kembali tersenyum.

Sebuah pesan singkat masih tersimpan di history bbmku.

"Hai. Aku Tony. Salam kenal."

Aku hampir pingsan saat membaca pesan itu.