...
Senyuman yang terukir di wajah manismu, membuatku
terbuai dan hampir melupakan sederet kalimat sepanjang kereta api
jurusan jakarta-surabaya. Kucoba mengalihkan pandangan mataku ke arah
lain, yang justru makin membuat dadaku sesak. Kulihat pasangan di
seberang kita, saling menggenggam tangan satu sama lain, tertawa kecil
yang sedikit menyeruak keheningan di cafe ini.
"Hey, kok malah ngelamun?"
Aku terkesiap saat kau melambaikan telapak tanganmu di hadapanku.
Hening.
Awkward, tidak seperti biasanya. Sepertinya kamu juga menangkap 'keganjilan' yang tengah menari-nari di antara kita berdua.
"Ada apa? Kok murung?"
Aku masih terdiam. Tak ada tanda-tanda bibirku akan membuka katupnya.
Kurasakan tanganmu menyelip di telapak tangan kananku. "Ada apa?", tanyamu lagi.
"Maafkan
aku," hanya itu yang terucap dari bibirku. Kucoba menghindari kontak
mata denganmu. Tak sadarkah kau kedua mata beningmu itu yang membuatku
tak bisa tidur seminggu lebih beberapa bulan yang lalu?
Kamu
terdiam. Aku terdiam, lagi. Tangan kita masih menyatu. Tak ada
kata-kata lagi yang keluar dari kedua bibir kita, seakan katup beda
manusia ini memiliki telepati yang kuat, untuk menutup rapat-rapat.
Sepertinya kamu mulai menangkap apa yang sedang terjadi, apa yang sedang
kupikirkan, apa yang sedang kurasakan, dan mungkin apa yang akan aku
katakan.
"Aku tidak bisa meneruskan hubungan ini," ucapku.
Aku lantas tertawa kecil begitu menyadari sesuatu. "Hubungan? Aku bahkan tak yakin apakah ini dinamakan suatu hubungan,"
"Tentu
saja ini hubungan, Vi. Aku menyayangimu. Kamu menyayangiku. Ini
hubungan dua arah. Itu sudah cukup untuk menamakan ini suatu hubungan,"
"Aku menyayangimu. Kamu menyayangiku," aku memberikan sedikit jeda, kemudian melanjutkan, "Kamu menyayanginya,".
Kamu tak memberikan respon, namun dapat kurasakan genggamanmu makin kuat di tanganku.
"Beri
aku sedikit waktu, aku akan meninggalkannya untukmu. Aku benar-benar
menyayangimu," nada suaramu sedikit memohon kepadaku. Aku tak tahu
apakah itu benar-benar ucapan yang sungguh, atau hanya sebuah latihan
drama yang biasa kau lakukan sabtu sore.
"Seingatku aku
tak pernah memberimu pilihan, untuk memilihku atau memilih dia, ...
kekasihmu," kuberanikan untuk menatap kedua matamu yang menjadi hal
favoritku selama enam bulan terakhir.
Aku menghela nafas.
"Dari awal ini semua salahku, Ren. Aku yang masuk ke dalam kehidupanmu.
Kukira aku tak akan pernah sakit hati lagi dengan menjalin 'hubungan'
seperti ini. Tapi ternyata aku salah. Aku terlalu dalam masuk ke
kehidupanmu, tanpa kusadari bahwa semakin dalam aku melangkah, semakin
dalam pula lubang yang kugali di hatiku. Aku kira aku tak akan pernah
merasakan sakit dengan menjalani 'hubungan' seperti ini, tapi lagi-lagi
aku salah. Karena di sini, sakit Ren," kutepuk dada sebelah kiriku.
Kamu.. masih diam.
"Aku
tak bisa menyakitiku lebih dalam lagi. Aku tak bisa membuatmu
menyakitinya, kekasihmu, lebih dalam lagi. Kekasihmu yang memberikanmu
kepercayaan untukmu. Apa tak pernah kau bayangkan bagaimana sakitnya dia
jika tahu apa yang kita perbuat selama ini?"
"Vi, kamu sendiri yang pernah mengatakan padaku, untuk apa menjalani hubungan jarak jauh jika tidak ada kepercayaan?" tanyanya.
Aku
mengangguk. "Iya, memang benar. Tapi apa tak pernah sedikitpun kamu
merasa bahwa aku ini wanita jahat, yang mengatakan hal suci seperti itu,
kemudian malah datang ke kehidupanmu dan menggodamu?" tanyaku balik,
dengan setetes airmata mengalir di pipi kananku.
"Vi, aku sayang kamu," ucapmu lirih. Genggaman di tangan kananku tak kau lepas.
"Aku
sayang padamu, Ren. Tapi ini tidak benar, ini tidak adil. Kau
menyayangiku, tapi kau juga menyayanginya. Kau egois jika tetap
mempertahankan 'hubungan' seperti ini,"
"Vi.....,"
Kutarik
perlahan telapak tangan kananku dari genggamanmu. "Maafkan aku, Ren.
Aku tak bisa untuk tetap ada di posisi ini. Aku tak akan membuatmu
memilih antara aku atau dia, karena memang jelas di sini akulah pihak
yang bersalah. Jangan putuskan kekasihmu dengan alasan karenaku. Jalani
kembali kehidupanmu dengan dia. Jika memang kita berjodoh, suatu saat
jalan kita akan menemukannya sendiri,"
"Bagaimana jika kita tidak berjodoh?"
Kupandangi
wajahmu, bergantian dari bibir, hidung, pipi, rambut, telinga, alis
hingga kedua mata itu. Kucoba mengingat bagaimana rupamu, untuk terakhir
kalinya.
Aku tersenyum, seraya bangkit dan membungkukkan
badanku hingga bibirku tepat di telinga kananmu. "Jika kita tidak
berjodoh? Maka anggaplah aku hanya sebuah intermezzo di kehidupanmu,"
aku tersenyum. Kukecup pipimu, dan kulangkahkan kakiku keluar dari cafe
ini. Meninggalkanmu. Meninggalkan kisah kita.