Pandangan mataku lurus ke depan. Pikiranku berpacu dengan tiap tetes air hujan yang menghantam bumi, berkonsentrasi menghitung berapa tetes air hujan yang turun saat ini. Mataku perih. Aku menyerah, aku tak sanggup lagi menghitungnya. Ratusan? Jutaan? Mungkin. Oh, suatu saat aku akan menciptakan suatu alat yang dapat menghitung tiap tetes air hujan yang jatuh. Tunggu, apakah itu konyol? Gila? Mungkin. Tapi para ilmuwan terkenal pada awalnya dianggap gila bukan?
Aku memeluk tubuhku, membangun benteng dari dingin yang mulai merasuki tubuhku. Hujan kali ini sangat deras dan berangin. Aku harus merelakan sepatu hitam kesayanganku sedikit basah terkena cipratan air hujan yang menetes di dekatku. Kulihat jam tanganku. 20 menit berlalu, namun mataku masih belum menangkap sosoknya datang menjemputku. Satu per satu, kawan-kawanku pulang ke rumahnya masing-masing, tentu saja tanpa harus cemas seragam putih mereka basah karena hujan. Mobil-mobil yang berhenti di dekatku pun beraneka macam. Mau mobil keluaran tahun berapa? Semua ada. Mendadak seperti ada sebuah showroom di jalan raya ini.
Mobil pertama berhenti, aku melengos, mobil pertama pergi disusul datangnya mobil kedua, dan begitu seterusnya. Selain iri pada mereka yang bisa dengan tenang pulang tanpa harus kehujanan, aku mulai cemas karena sosok yang kutunggu tak kunjung datang. Sudah kubilang 'kan tadi pagi? Aku bisa pulang sendiri. Malah lebih enak, aku bisa bareng dengan kawanku yang memiliki mobil dan mungkin sekarang aku sudah duduk di depan TV dengan secangkir teh hangat.
Akhirnya mataku menangkap sosoknya dari kejauhan. Aku tertegun. Aku hafal dengan motor tua itu. Aku hafal dengan helm kusam berwarna putih itu. Aku hafal lekuk tubuh orang yang mengendarai motor tua itu. Tubuhnya terbungkus jas hujan biru. Sandalnya basah, celana hitamnya dinaikkan hingga di bawah lutut. Matanya berusaha berkonsentrasi dengan jalan di depannya, agak sulit mengingat hujan yang turun masih tak kunjung mereda. Sesekali diusapnya wajahnya yang basah.
Aku melambaikan tanganku ke arah sosok itu, berusaha memberi sinyal dimana keberadaanku. Motornya berbelok ke arahku dan berhenti tepat di depanku.
"Pakai jas hujan ini. Sepatunya dimasukkan kantong plastik ya, besok 'kan masih dipakai. Maaf membuat adek lama menunggu,"
Kuterima jas hujan dan kantong plastik itu. Ada yang bergetar di dadaku. Bodoh, mengapa tadi aku sempat-sempatnya mengeluh? Aku punya sosok hebat sepertinya di hidupku. Berjuang menembus derasnya hujan, hanya untuk menjemput gadis manja sepertiku.
Aku tersenyum haru. "Terimakasih, Ayah,"
Dan terima kasih hujan telah mengingatkanku bahwa aku punya sosok hebat seperti beliau di dalam hidupku. Mungkin bila kau tak hujan hari ini, aku tak akan pernah tahu seberapa besar pengorbanannya untukku. Sekali lagi, terima kasih hujan, sampai ketemu lain waktu!
Sumber gambar : klik here
Mobil pertama berhenti, aku melengos, mobil pertama pergi disusul datangnya mobil kedua, dan begitu seterusnya. Selain iri pada mereka yang bisa dengan tenang pulang tanpa harus kehujanan, aku mulai cemas karena sosok yang kutunggu tak kunjung datang. Sudah kubilang 'kan tadi pagi? Aku bisa pulang sendiri. Malah lebih enak, aku bisa bareng dengan kawanku yang memiliki mobil dan mungkin sekarang aku sudah duduk di depan TV dengan secangkir teh hangat.
Akhirnya mataku menangkap sosoknya dari kejauhan. Aku tertegun. Aku hafal dengan motor tua itu. Aku hafal dengan helm kusam berwarna putih itu. Aku hafal lekuk tubuh orang yang mengendarai motor tua itu. Tubuhnya terbungkus jas hujan biru. Sandalnya basah, celana hitamnya dinaikkan hingga di bawah lutut. Matanya berusaha berkonsentrasi dengan jalan di depannya, agak sulit mengingat hujan yang turun masih tak kunjung mereda. Sesekali diusapnya wajahnya yang basah.
Aku melambaikan tanganku ke arah sosok itu, berusaha memberi sinyal dimana keberadaanku. Motornya berbelok ke arahku dan berhenti tepat di depanku.
"Pakai jas hujan ini. Sepatunya dimasukkan kantong plastik ya, besok 'kan masih dipakai. Maaf membuat adek lama menunggu,"
Kuterima jas hujan dan kantong plastik itu. Ada yang bergetar di dadaku. Bodoh, mengapa tadi aku sempat-sempatnya mengeluh? Aku punya sosok hebat sepertinya di hidupku. Berjuang menembus derasnya hujan, hanya untuk menjemput gadis manja sepertiku.
Aku tersenyum haru. "Terimakasih, Ayah,"
Dan terima kasih hujan telah mengingatkanku bahwa aku punya sosok hebat seperti beliau di dalam hidupku. Mungkin bila kau tak hujan hari ini, aku tak akan pernah tahu seberapa besar pengorbanannya untukku. Sekali lagi, terima kasih hujan, sampai ketemu lain waktu!
Sumber gambar : klik here