Aku merindukan saat-saat kami berdua dahulu, saat aku masih kecil, yang bahkan meraih buku di atas meja belajar harus naik ke atas kursi terlebih dulu, atau saat menggayung air di kamar mandi dengan berjinjit saat airnya surut.
Aku rindu saat aku manja dan minta digendong di punggungnya dari ruang TV ke kamarku.
Aku rindu saat aku naik di kakinya, berjalan berdua dengan aku bertumpu di kakinya, tanganku menggandeng tangannya.
Aku rindu saat aku memilih duduk di depan saat harus berboncengan dengannya.
Aku rindu saat beliau menemaniku kunjungan ke kebun binatang, menggandengku, kemudian mengambil foto diriku dengan senyum lebar dan gigi kelinciku yang tampak jelas.
Aku rindu saat beliau memintaku untuk memijit kedua kakinya, dan diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pembagian dan perkalian, atau bahkan mengetesku dengan pancasila.
Aku rindu saat beliau mengijinkanku, untuk pertama kalinya, merayakan ulangtahun dengan teman-temanku, dan harus berdesakan di dalam mobil tua 'kenangan' kami.
Saat aku diperlakukan jahat oleh teman-temanku untuk pertama kalinya, aku datang ke beliau sambil berurai airmata, dan menceritakan apa yang baru saja aku alami dengan sesenggukan. Dan aku ingat apa yang beliau katakan padaku saat itu. "Nak, tidak selamanya teman-teman di sekelilingmu itu benar-benar baik. Bisa saja dia baik di depanmu, namun menjelek-jelekkanmu di belakangmu. Yang hati-hati dalam memilih teman ya, Nak,"
Aku bangga pada beliau. Beliau tak terlihat takut sedikitpun di hadapanku dan membuatku nyaman saat berada di dekatnya. Aku tak pernah melihat beliau takut saat ada tikus, bahkan saat seekor nyambik (biawak) sekalipun, yang masuk ke dalam rumah.
Dan aku pun mulai beranjak dewasa. Aku tahu beliau akan sangat khawatir dengan pergaulanku, terutama pergaulan dengan lawan jenis. Beliau selalu bercanda dengan berkata, "Kalau cari pacar harus gagah dan ganteng kayak gini ya," sambil menepuk-nepukkan tangannya ke dadanya. Dan aku hanya bisa tertawa.
Aku pernah membuat beliau kecewa, sedih dan bahkan marah. Ya, aku pernah menangis saat beliau berkata padaku cukup keras. Aku segera masuk ke dalam kamar, menangis dengan menutup bantal di kepalaku, sedikit kaget dengan reaksi beliau. Namun, akhirnya beliau ikut menyusulku ke dalam kamar. Beliau meminta maaf padaku, mengusap rambutku dan kemudian memelukku seraya meminta maaf akibat perkataannya yang keras. Beliau hanya ingin aku tidak salah dalam memilih jalan. Ya, beliau pagarku di sepanjang jalan hidupku.
Aku ingin membuat beliau bangga padaku kelak. Ya, betapa aku ingin saat kelak beliau sudah menua, beliau tersenyum bangga melihatku, yang dulunya hanyalah anak manja yang sering membuat ulah, berhasil mewujudkan cita-citaku (amin). Aku ingin beliau tetap ada saat aku diwisuda, saat aku menikah, bahkan saat aku melahirkan anakku (cucunya) kelak. Apakah terlalu muluk aku mengharapkan beliau tetap ada di sampingku, orang yang aku sayangi? Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jika tidak ada beliau.
Sebenarnya banyak yang ingin aku katakan tentang beliau. Namun aku rasa beberapa paragraf di atas sudah mewakili semua perasaanku terhadap beliau. Dan aku yakin kalian sudah tahu siapa yang aku maksud.
Ayah / Bapak / Papa / AbahAku menulis ini bukan berarti aku tidak menyayangi Ibuku. Tidak. Aku sangat menyayangi mereka berdua. Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa Ibu lakukan untuk kita bukan? Dan di situlah peran Ayah. Ayah menyempurnakan peran Ibu untuk kita. Mereka berdua sempurna. Dan apabila ada salah satu dari orangtua kalian telah tiada, aku rasa kita harus lebih memahami dan menghormati beliau. Betapa susahnya berperan sebagai Ibu sekaligus Ayah, atau sebaliknya, di dalam sebuah keluarga bukan?
2 komentar:
menjadi ayah yang bijaksana adalah salah satu impian hidupku... semoga kelak aku bisa menjadi seperti ayahku saat ini.. bijaksana dan penuh pengertian. saya suka tulisan ini, karna hampir sama dengan apa yg ada di dalam hidupku..
salam kenal, jangan lupa followback yah.. :D
Thanks
Oke, abis ini aku followback :)
Trims udah sempatin baca yaa ^^
Posting Komentar