cerita : fiksi
soundtrack : Gita Gutawa ft. Maia - Mau tapi Malu
durasi : 10-20 menit
Happy reading!
Dear my admire classmate...
Tahukah kamu, bahwa aku selalu menantikan jam kuliah datang tiap harinya? Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak berminat dengan yang namanya weekend. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar weekend dapat cepat berlalu dan Senin datang lebih awal. Kenapa? Karena hari itulah yang mengawali pertemuanku denganmu untuk lima hari ke depan.
Tahukah kamu, bahwa aku selalu mencuri pandang ke arahmu, yang duduk di seberang sana, saat kuliah berlangsung? Kau membuatku sulit berkonsentrasi dengan celoteh dosen di depan, yang entah sedang menjelaskan rumus apa. Kau membuat pikiranku kosong, berbanding terbalik dengan kertas bukuku yang penuh dengan tinta hitam, menorehkan baris kata catatan dosen di papan tulis. Aku mencatat, namun tak satu pun kata di catatanku yang ku mengerti. Aku terlalu sibuk mengkhayalmu, bahkan terlalu sibuk untuk memandangmu dari sudut mataku. Ya, meskipun yang kutangkap hanyalah rambut ikalmu, itu sudah setara dengan vitamin penambah daya tahan tubuh untukku.
Tahukah kamu, bahwa lidahku kelu saat berpapasan denganmu? Aku tahu kau juga menatapku, namun aku malah memilih untuk diam, membuang begitu saja pandangan mataku darimu dan yang paling parah, membiarkanmu berlalu begitu saja di hadapanku. Aku ingin menyapamu, sungguh. Andai aku punya sedikit keberanian untuk menyapamu, memulai pembicaraan denganmu, atau bahkan hanya sekedar tersenyum padamu. Tentu cinta diam-diam ini tak perlu ada.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu tak datang di jam kuliah sore itu aku merasa kecewa? Aku mengenakan kemeja ungu favoritku, dengan corak bunga-bunga meriah, berharap kau akan sedikit lebih memperhatikanku. Aku menyemprot parfum favoritku sedikit berlebihan dari biasanya, berharap kau akan mencium wangiku dan menoleh ke arahku saat aku lewat di hadapmu. Tapi, aku sedikit kecewa saat yang kudapati hanyalah bangku kosong. Kau tak duduk di atasnya. Ada apa gerangan kau tak datang sore itu? Apakah kau sakit? Atau ada urusan lain yang tak bisa kau tinggal? Aku ingin sekali mengirimimu SMS, sekedar bertanya: mengapa tidak masuk?. Syukurlah aku masih waras, tidak cukup gila dan nekat untuk tiba-tiba menghubungimu. Yang ada nantinya mungkin kau akan menjauhiku karena bersikap sok dekat denganmu.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu tertawa bersama teman-temanmu, yang entah kalian menertawakan apa, tawamu merupakan angin segar untukku? Seperti sebuah oase di padang gurun, seperti setangkup air di kedua telapak tangan yang membasuh wajahku, begitu menyegarkan.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu maju ke depan kelas, mengerjakan soal yang ditulis dosen di papan tulis, aku kagum dengan kepintaranmu. Ah, andai kamu bisa memberikanku sedikit ilmumu. Pasti akan lebih menyenangkan menghabiskan waktu belajarku denganmu.
Dan tahukah kamu, bahwa aku sudah lelah dengan perasaan satu arah ini? Seperti sebuah panggilan telepon, yang hanya dijawab dengan nada sambung telepon yang membosankan. Tuuuuut... tuuuuut... tuuuuut... Ayolah, kapan kau akan menyadari panggilan ini dan mengangkat panggilanku?
Dear my admire classmate...
Kemarin, seperti biasa, aku meluangkan waktuku di kelas, di sela-sela mata kuliah yang membosankan, untuk mencuri pandang ke arahmu. Tapi, benarkah yang kulihat bahwa ku tak sengaja memergokimu melihatku? Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kau hanya menoleh ke arahku karena sedang melihat ke papan tulis. Tapi, papan tulis ada di depan, dan aku di seberangmu. Oke, apa kau benar-benar mencuri pandang kepadaku? Jujur, hal itu membuatku sedikit sulit tidur malam harinya. Karena hal itu benar-benar aneh.
Kukira memang kejadian kemarin hanyalah kebetulan belaka. Namun, yang namanya kebetulan pasti tak akan terjadi lagi bukan? Masalahnya adalah, aku memergokimu lagi tadi siang. Aku bersumpah demi apapun yang hidup di dunia ini, kau melihatku. Memang tidak lebih dari sedetik, tapi sangat terekam jelas di otakku. Mungkin kau meragukan kemampuan mengingatku, karena aku memang tak dapat mengingat kalimat yang diucapkan dosen, namun aku yakin 100% bahwa mataku masih normal. Jelaskan padaku, apakah kau benar-benar melihatku?
Dear my admire classmate...
Apakah itu matamu, yang juga balas menatapku? Meski hanya sepersekian detik, tapi jika boleh jujur, tatapanmu mampu menerjang dan menembus hingga relung jiwaku. Hatiku bagai tersengat listrik berkilo-kilo watt, membuatku hidup kembali.
Apakah kamu mulai merasakan apa yang kurasakan?
Apakah kamu mulai menjawab panggilan telepon ini?
Apakah nada sambung yang menjemukan itu akan segera berakhir dengan suaramu yang menjawab panggilan ini?
Dear my admire classmate...
Aku tahu bahwa tempo hari kau memang benar-benar melihatku, karena kau menyapaku pagi tadi! Apa aku perlu memeriksakan telingaku ke dokter THT? Ah, aku yakin syaraf telingaku masih normal. Ya, kau memanggilku tadi, dan tersenyum padaku. Senyumanmu melelehkan hatiku, melumpuhkan segala urat nadi dan syarafku. Tunggu, apakah senyumku membuatku tampak buruk? Apakah ada sisa-sisa makanan yang terselip di gigiku? Semoga saja tidak.
Dear my admire classmate...
Tak banyak yang kusampaikan di surat ini. Satu yang pasti untuk saat ini, kau begitu mempesonaku. Mungkin salah jika aku menjadikanmu alasan untuk semangat berangkat ke kampus. Tapi, itu lebih baik daripada tidak ada semangat sama sekali bukan?
Aku berharap, dari sapa dan senyummu tadi, hubungan kita menjadi lebih dekat. Well, setidaknya aku tidak lagi kikuk jika berada di dekatmu. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku. Kapan kau putus dengan pacarmu? Jika saat itu terjadi, kau tahu harus menghubungi siapa bukan?
soundtrack : Gita Gutawa ft. Maia - Mau tapi Malu
durasi : 10-20 menit
Happy reading!
Dear my admire classmate...
Tahukah kamu, bahwa aku selalu menantikan jam kuliah datang tiap harinya? Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak berminat dengan yang namanya weekend. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar weekend dapat cepat berlalu dan Senin datang lebih awal. Kenapa? Karena hari itulah yang mengawali pertemuanku denganmu untuk lima hari ke depan.
Tahukah kamu, bahwa aku selalu mencuri pandang ke arahmu, yang duduk di seberang sana, saat kuliah berlangsung? Kau membuatku sulit berkonsentrasi dengan celoteh dosen di depan, yang entah sedang menjelaskan rumus apa. Kau membuat pikiranku kosong, berbanding terbalik dengan kertas bukuku yang penuh dengan tinta hitam, menorehkan baris kata catatan dosen di papan tulis. Aku mencatat, namun tak satu pun kata di catatanku yang ku mengerti. Aku terlalu sibuk mengkhayalmu, bahkan terlalu sibuk untuk memandangmu dari sudut mataku. Ya, meskipun yang kutangkap hanyalah rambut ikalmu, itu sudah setara dengan vitamin penambah daya tahan tubuh untukku.
Tahukah kamu, bahwa lidahku kelu saat berpapasan denganmu? Aku tahu kau juga menatapku, namun aku malah memilih untuk diam, membuang begitu saja pandangan mataku darimu dan yang paling parah, membiarkanmu berlalu begitu saja di hadapanku. Aku ingin menyapamu, sungguh. Andai aku punya sedikit keberanian untuk menyapamu, memulai pembicaraan denganmu, atau bahkan hanya sekedar tersenyum padamu. Tentu cinta diam-diam ini tak perlu ada.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu tak datang di jam kuliah sore itu aku merasa kecewa? Aku mengenakan kemeja ungu favoritku, dengan corak bunga-bunga meriah, berharap kau akan sedikit lebih memperhatikanku. Aku menyemprot parfum favoritku sedikit berlebihan dari biasanya, berharap kau akan mencium wangiku dan menoleh ke arahku saat aku lewat di hadapmu. Tapi, aku sedikit kecewa saat yang kudapati hanyalah bangku kosong. Kau tak duduk di atasnya. Ada apa gerangan kau tak datang sore itu? Apakah kau sakit? Atau ada urusan lain yang tak bisa kau tinggal? Aku ingin sekali mengirimimu SMS, sekedar bertanya: mengapa tidak masuk?. Syukurlah aku masih waras, tidak cukup gila dan nekat untuk tiba-tiba menghubungimu. Yang ada nantinya mungkin kau akan menjauhiku karena bersikap sok dekat denganmu.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu tertawa bersama teman-temanmu, yang entah kalian menertawakan apa, tawamu merupakan angin segar untukku? Seperti sebuah oase di padang gurun, seperti setangkup air di kedua telapak tangan yang membasuh wajahku, begitu menyegarkan.
Tahukah kamu, bahwa saat kamu maju ke depan kelas, mengerjakan soal yang ditulis dosen di papan tulis, aku kagum dengan kepintaranmu. Ah, andai kamu bisa memberikanku sedikit ilmumu. Pasti akan lebih menyenangkan menghabiskan waktu belajarku denganmu.
Dan tahukah kamu, bahwa aku sudah lelah dengan perasaan satu arah ini? Seperti sebuah panggilan telepon, yang hanya dijawab dengan nada sambung telepon yang membosankan. Tuuuuut... tuuuuut... tuuuuut... Ayolah, kapan kau akan menyadari panggilan ini dan mengangkat panggilanku?
Kemarin, seperti biasa, aku meluangkan waktuku di kelas, di sela-sela mata kuliah yang membosankan, untuk mencuri pandang ke arahmu. Tapi, benarkah yang kulihat bahwa ku tak sengaja memergokimu melihatku? Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kau hanya menoleh ke arahku karena sedang melihat ke papan tulis. Tapi, papan tulis ada di depan, dan aku di seberangmu. Oke, apa kau benar-benar mencuri pandang kepadaku? Jujur, hal itu membuatku sedikit sulit tidur malam harinya. Karena hal itu benar-benar aneh.
Kukira memang kejadian kemarin hanyalah kebetulan belaka. Namun, yang namanya kebetulan pasti tak akan terjadi lagi bukan? Masalahnya adalah, aku memergokimu lagi tadi siang. Aku bersumpah demi apapun yang hidup di dunia ini, kau melihatku. Memang tidak lebih dari sedetik, tapi sangat terekam jelas di otakku. Mungkin kau meragukan kemampuan mengingatku, karena aku memang tak dapat mengingat kalimat yang diucapkan dosen, namun aku yakin 100% bahwa mataku masih normal. Jelaskan padaku, apakah kau benar-benar melihatku?
Dear my admire classmate...
Apakah itu matamu, yang juga balas menatapku? Meski hanya sepersekian detik, tapi jika boleh jujur, tatapanmu mampu menerjang dan menembus hingga relung jiwaku. Hatiku bagai tersengat listrik berkilo-kilo watt, membuatku hidup kembali.
Apakah kamu mulai merasakan apa yang kurasakan?
Apakah kamu mulai menjawab panggilan telepon ini?
Apakah nada sambung yang menjemukan itu akan segera berakhir dengan suaramu yang menjawab panggilan ini?
Dear my admire classmate...
Aku tahu bahwa tempo hari kau memang benar-benar melihatku, karena kau menyapaku pagi tadi! Apa aku perlu memeriksakan telingaku ke dokter THT? Ah, aku yakin syaraf telingaku masih normal. Ya, kau memanggilku tadi, dan tersenyum padaku. Senyumanmu melelehkan hatiku, melumpuhkan segala urat nadi dan syarafku. Tunggu, apakah senyumku membuatku tampak buruk? Apakah ada sisa-sisa makanan yang terselip di gigiku? Semoga saja tidak.
Dear my admire classmate...
Tak banyak yang kusampaikan di surat ini. Satu yang pasti untuk saat ini, kau begitu mempesonaku. Mungkin salah jika aku menjadikanmu alasan untuk semangat berangkat ke kampus. Tapi, itu lebih baik daripada tidak ada semangat sama sekali bukan?
Aku berharap, dari sapa dan senyummu tadi, hubungan kita menjadi lebih dekat. Well, setidaknya aku tidak lagi kikuk jika berada di dekatmu. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku. Kapan kau putus dengan pacarmu? Jika saat itu terjadi, kau tahu harus menghubungi siapa bukan?