| 9 Juni 1995... |
Tangannya menggenggam erat tanganku.
"Aku ingin permen itu," pintaku seraya menunjuk ke seberang jalan dengan tanganku yang terbebas dari genggamannya.
"Tapi mama menyuruhku menjagamu di sini," katanya.
"Aku mau itu...," pintaku dengan nada memelas.
"Baiklah. Tapi kau tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana."
Aku mengangguk. Kurapatkan tubuhku ke dinding toko makanan di belakangku. Kulihat dia sudah tiba di seberang jalan dan membawa dua permen gulali.
"Ini."
Aku menerima permen gulali itu dengan senyum lebar.
"Kau ini menyusahkan saja," ujarnya sambil ikut menikmati permen gulali miliknya.
"Terima kasih, Dito," kataku.
***
| 16 Juni 2012 |
"
Finally! Jalan Braga! Kita bakal banyak dapat foto di sini!"
Aku tersenyum melihat reaksi sahabatku, Fira.
My partner in crime, menyetujui ajakanku untuk kabur ke kota ini sebelum menghadapi ujian akhir minggu depan.
"Lu tau dari mana ada tempat seetnik ini? Internet?"
"Dulu aku pernah ke sini," jawabku.
"Oh ya? Lu pernah tinggal di Bandung?" tanyanya terkejut.
Aku mengangguk.
"Cuman sampe aku umur 5 tahun. Setelah itu, aku pindah ke Surabaya," jawabku.
"Aku
hunting foto dulu ya mbak
sist. Lu puas-puasin nostalgia deh," ujar Fira seraya berjalan pergi meninggalkanku sambil mengarahkan kameranya ke segala sudut bangunan tua di sini.
Mataku menangkap sosok bapak penjual permen gulali beberapa meter di depanku Aku tersenyum. Aku berada di jalan yang tepat.
"Pak, permennya dua ya."
Sesosok laki-laki tiba-tiba muncul di hadapanku. Rambutnya dipotong cepak dan berwarna hitam. Kacamata dengan
frame hitam menghiasi wajahnya.
"Ini, Mas Dito. Seperti biasa, ya?"
Laki-laki itu tersenyum dan menyebrang jalan setelah memberi uangnya kepada bapak penjual gulali. Tunggu, siapa namanya? Dito?
Mataku mengikuti kemana laki-laki itu pergi, ke sebuah kedai kopi tepat di seberangku.
Deli's Coffee.
Dia itu...
***
"Selamat datang di
Deli's Coffee," sapa seorang pramusaji ketika aku masuk ke kedai kopi ini. Laki-laki itu tengah duduk seorang diri di sudut ruang. Tampak dua permen gulali yang dibelinya tadi diletakkan di atas sebuah piring kecil.
"Dito?"
Dia menoleh begitu mendengar sapaanku. Dahinya mengerut begitu melihatku.
"Siapa, ya?" tanyanya.
"Deli."
Aku tersenyum.
"Deli? Deli yang dulu itu? Sekecil ini?" tanyanya seraya mengira-ngira tinggiku saat itu dengan tangannya.
Aku mengangguk.
"Ya Tuhan! Kamu memang Deli yang itu. Senyummu masih sama ya?"
Dito bangkit dan memelukku erat. Sepertinya. Aku tak bisa membedakan siapa yang lebih rindu.
"Jadi,
Deli's Coffee? Suatu kebetulan atau sengaja kamu menggunakan namaku?" tanyaku saat kami sudah duduk berhadapan.
"Aku sengaja melakukannya, agar kamu dapat menemukanku.
See? Berhasil bukan?"
Aku mengangguk.
"Kamu cantik, Del. Lebih cantik dari terakhir kita bertemu dulu," katanya.
Aku tersipu.
"Jujur, aku sama sekali tidak ingat ama kamu. Yang kuingat hanyalah namamu, Dito. Dan kini melihatmu, aku mulai teringat Dito kecil yang dulu. Ya, aku mulai ingat semuanya."
Dito tersenyum kepadaku.
"Akhirnya kamu datang. Masih suka dengan permen gulali ini bukan?"
Dito memberikan satu permen gulali padaku.
"Tiap hari kau membeli permen ini? Dua biji?" tanyaku.
Dia mengangguk.
"Dan saat aku tak datang?"
"Aku memakannya semua," jawabnya sambil tertawa.
Aku ikut tertawa bersamanya.
What a wonderful day!
I finally found him!
***
"Del! Deli!"
Aku membuka mataku dan wajah Fira adalah gambar pertama yang berhasil kutangkap dengan jelas.
"
Thank God! Kamu sakit, Del?" tanyanya.
Aku menggeleng dan melihat ke sekelilingku. Jalanan Braga. Masih di jalan ini. Aku duduk berselonjor dengan bersandar pada dinding sebuah toko.
"Kamu pingsan di sana."
Deli menunjuk ke arah sebuah bangunan usang. Aku masih bisa membaca tulisan di papan nama bangunan itu.
Deli's Coffee.
Aku bangkit dan berlari menuju
Deli's Coffee, tak menghiraukan tatapan orang-orang di sekitarku.
Dengan nafas tersengal-sengal akibat berlari, aku berusaha menerjemahkan semuanya.
Deli's Coffee. Aku ada di depannya. Tapi tak sama seperti yang baru saja kualami barusan, bangunan ini berwarna kehitaman seperti bekas kebakaran.
"Deli! Kamu kenapa sih? Kata orang-orang, kamu tiba-tiba pingsan setelah menyebrang ke depan tempat ini," jelas Deli setelah berhasil menyusulku.
"Tadi aku gak pingsan, Del. Aku baru aja masuk ke dalam toko ini," kataku.
"Del, kamu pingsan. Dan gak mungkin kamu masuk ke toko ini. Toko ini kebakaran beberapa bulan yang lalu."
Aku menggeleng.
"Tadi aku ketemu Dito, Fir! Dito! Teman masa kecilku yang aku sendiri lupa wajahnya," jelasku.
"Toko ini kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu dan pemiliknya ikut terbakar karena tidak sempat menyelamatkan diri."
Aku dan Deli menoleh ke pemilik suara. Bapak penjual gulali.
"Deli?" tanya bapak itu kepadaku.
Aku mengangguk.
"Dia selalu menunggumu sejak dulu di tempat ini. Dan memutuskan untuk mendirikan sebuah kedai kopi dengan namamu, berharap agar kamu menemukannya. Setiap hari dia membeli 2 gulali, untuk berjaga-jaga jika kamu menampakkan dirimu di sini."
Bapak itu memberi 2 gulali ke tanganku.
"Akhirnya kamu datang, Nak. Meski dia kini sudah berada di alam lain, bapak yakin dia masih tetap menunggumu. Bagaimana? Kamu sudah bertemu dia?"
Aku mengangguk perlahan. Bibirku bergetar mendengar semua perkataan bapak itu. Kulihat lagi kedua permen di tanganku. Masih sama seperti dulu.
Terima kasih, Dito. Terima kasih sudah menungguku.
***
| 9 Juni 1995|
"Dito, terima kasih ya sudah menjaga adik kecilnya."
Aku mengangguk.
"Ayo, Deli. Kita pulang. Jeng, kapan-kapan kita jalan lagi ya, sebelum aku ama suamiku pindah ke Surabaya," kata tante itu pada mamaku.
"Pasti, Jeng. Kabar-kabar aja kalo mau ketemu," timpal mama.
"Aku pulang dulu ya, Jeng. Dito, tante pulang duu ya. Ayo Deli, kita pulang."
Dan tante itu mengajak Deli pergi. Deli melambaikan tangannya ke arahku di pelukan perempuan itu. Aku membalas lambaiannya.
"Besok main lagi ya!" teriakku.
Dia mengangguk seraya tersenyum kepadaku. Senyum yang tidak akan pernah kulupakan.
-FIN-